Menyoal Fenomena Profesor Non-Akademisi

Oleh: Hernadi Affandi

Akhir-akhir ini, muncul kembali fenomena di dunia pendidikan tinggi berupa “pemberian” jabatan profesor kepada seseorang yang bukan berasal dari lingkungan perguruan tinggi. Fenomena tersebut sebenarnya bukan hal baru sama sekali karena pernah dan sering terjadi beberapa waktu sebelumnya. Pada umumnya, penerima jabatan profesor tersebut bukan dosen, peneliti, atau akademisi. Bahkan, sebagai dosen luar biasa di suatu perguruan tinggi pun belum tentu. Artinya, penerima jabatan profesor tersebut bukan akademisi yang memang layak memperoleh jabatan tertinggi di dunia akademik tersebut.

Secara normatif, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) mengatur pengertian profesor atau guru besar. Pasal 1 angka 3 UU Guru dan Dosen menjelaskan bahwa “Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.” Dalam definisi tersebut, terdapat setidaknya empat aspek yang melekat pada jabatan profesor atau guru besar. Pertama, jabatan fungsional tertinggi; Kedua, dosen; Ketiga, masih mengajar; Keempat, lingkungan satuan pendidikan tinggi.

Pertama, jabatan fungsional tertinggi. Jabatan profesor disebut sebagai jabatan fungsional tertinggi karena untuk profesi dosen saat ini ada empat jabatan fungsional. Secara bertingkat, jabatan fungsional dosen di perguruan tinggi dimulai dari asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor atau guru besar. Setiap dosen yang akan memperoleh jenjang jabatan tersebut harus memenuhi angka kredit tertentu yang berbeda untuk setiap jenjangnya. Seorang dosen yang tidak memenuhi syarat angka kredit untuk setiap komponen penilaian tidak mungkin akan dapat naik ke jenjang jabatan yang lebih tinggi.

Pasal 48 ayat (3) UU Guru dan Dosen menegaskan bahwa persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki kualifikasi akademik doktor. Selanjutnya, Pasal 49 UU Guru dan Dosen mengatur sebagai berikut: (1) Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor. (2) Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat. (3) Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi profesor paripurna

Kedua, dosen. Berdasarkan definisi di atas, jabatan profesor hanya dapat diberikan kepada atau disandang oleh seorang dosen. Menurut Pasal 1 angka 2 UU Guru dan Dosen yang dimaksud dengan “Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.” Berdasarkan definisi tersebut, dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan, sehingga pendidik profesional tetapi bukan ilmuwan atau sebaliknya belum tentu seorang dosen.

Selanjutnya, dosen memiliki tiga tugas utama, yaitu mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan (ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni). Secara umum, istilah “mentransformasikan” dapat diartikan sebagai mengubah, mentransfer, atau mengalihkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Selanjutnya, istilah “mengembangkan” dapat diartikan sebagai memperbesar, memperdalam, atau meningkatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Sementara itu, “menyebarluaskan” dapat diartikan sebagai menginformasikan, menyebarkan, atau memperluas ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. (Bersambung).

Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below