Menyoal Gaji Versus Kinerja Anggota DPR (Bagian Kedua)

Oleh: Hernadi Affandi

Fakta menunjukkan bahwa pembentukan undang-undang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat, bahkan terkadang bertentangan dengan aspirasi masyarakat. Hal itu ditunjukkan antara lain dengan banyaknya pengujian undang-undang yang sudah dihasilkan oleh DPR (bersama pemerintah) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kenyataan itu menunjukkan bahwa ada persoalan dalam pembentukan undang-undang karena kurang atau bahkan tidak menampung dan mengakomodasi aspirasi rakyat.

Suatu undang-undang yang menampung dan mengakomodasi aspirasi rakyat tentu tidak bakalan dipersoalkan oleh rakyat melalui pengujian undang-undang ke MK. Rakyat pasti akan mendukung semua undang-undang yang dihasilkan oleh DPR apabila sesuai dengan aspirasinya. Kesempatan itu semestinya dibuka oleh DPR dalam seluruh tahapan pembentukan undang-undang, mulai dari perencanaan, penyusunan, sampai dengan pembahasan bersama pemerintah.

Penyerapan aspirasi rakyat tentu bukan hanya formalitas dan asal-asalan dilakukan demi meraih popularitas dan penilaian positif dari rakyat. Penyerapan aspirasi rakyat semestinya dilakukan secara baik, sehingga tertampung dengan baik pula dari aspek substantifnya. Hal itu dapat dilakukan dengan membuka ruang partisipasi masyarakat dengan lebih terbuka dan transparan. Rakyat bukan hanya disediakan RUU yang sudah siap dibahas pada tahapan selanjutnya tanpa diberikan kesempatan.

Partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang sebenarnya akan turut memudahkan pekerjaan anggota DPR. Artinya, anggota DPR tidak perlu lagi repot-repot mencari persoalan dan aspirasi rakyat yang harus ditampung ke dalam sebuah RUU yang sedang dibentuk karena rakyat sendiri yang menyampaikan kemauan dan aspirasinya. Dengan demikian, anggota DPR tinggal merumuskan masukan dan aspirasi tersebut ke dalam RUU yang sedang dibentuk tersebut dan dijamin aspiratif.

Namun demikian, kemudahan cara dan mekanisme tersebut tidak sepenuhnya mampu dijalankan oleh para anggota DPR yang terhormat dengan alasan yang tidak jelas. Alih-alih anggota DPR mendapatkan kemudahan dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewajibannya justru mendapatkan kesulitan karena mengabaikan masukan dan aspirasi yang sudah disampaikan secara langsung oleh rakyat. Akibatnya, produk undang-undang yang dihasilkan oleh DPR (dan Pemerintah) justru banyak ditolak oleh rakyat.

Fakta menunjukkan banyak sekali undang-undang yang sudah dan sedang dilakukan pengujian ke MK karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Penilaian tersebut diberikan oleh rakyat yang merasa aspirasi dan kepentingannya tidak tertampung oleh pembentuk undang-undang. Alih-alih undang-undang menjadi produk hukum yang akan memberikan keadilan dan kepastian hukum karena dibentuk oleh para wakilnya, justru menjadi faktor pendorong rakyat semakin tidak mempercayai para wakilnya yang duduk di DPR.

Akibatnya, rakyat tidak merasa terwakili oleh para wakilnya yang duduk di lembaga DPR karena terjadi jarak yang cukup lebar antara harapan dan kenyataan. Rakyat berharap anggota DPR sebagai wakil rakyat menjadi penyambung dan penampung aspirasi rakyat ketika mengurusi kepentingan rakyat dalam bentuk kebijakan politik yang dimasukkan ke dalam sebuah undang-undang. Namun, kenyataannya para wakil rakyat justru mengabaikan harapan dan aspirasi tersebut terutama ketika membentuk undang-undang.

Hal itu berimbas kepada penilaian negatif rakyat terhadap kinerja anggota DPR karena dianggap tidak aspiratif dalam menampung kehendak rakyat. Penilaian negatif tersebut bermuara kepada kinerja anggota DPR sebagai individu dan sebagai lembaga yang dianggap tidak mewakili kepentingan dan aspirasi rakyat. Konsekuensinya, apa pun yang dikerjakan dan dihasilkan oleh DPR kurang mendapatkan nilai positif di mata rakyat. Persoalan tersebut semakin membesar ketika dikaitkan dengan gaji anggota DPR. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below