Menyoal Kegaduhan Pilpres 2024 (Bagian Kedua)

Oleh: Hernadi Affandi

Kegaduhan yang terjadi menjelang perhelatan Pilpres 2024 mendatang ditandai pula dengan pemasangan baliho, spanduk dan sejenisnya dari para bakal calon kandidat yang akan dijagokan dari masing-masing pihak. Berbagai cara, ungkapan, tampilan, ukuran, bahkan bentuk baliho, spanduk, dan sejenisnya itu sudah menghiasi hampir semua sudut kota dan kabupaten di berbagai provinsi. Pemasangan berbagai baliho, spanduk, atau sejenisnya itu seakan-akan besok-lusa akan benar-benar dilaksanakan Pilpres.

Pemasangan baliho, spanduk, dan sejenisnya itu ada yang dilakukan dengan baik dan teratur, tetapi tidak sedikit pula yang tidak teratur atau tidak pada tempatnya. Akibatnya, jalan-jalan, tempat-tempat, gedung-gedung, bahkan hampir setiap sudut kota atau kabupaten menjadi terkesan kumuh, kotor, dan “sareukseuk” dipandang mata. Bahkan, kemungkinan besar semua baliho, spanduk, dan sejenisnya itu tidak memiliki izin pemasangan dari pemerintah daerah setempat.

Kondisi itu dapat saja justru merugikan para bakal calon yang wajahnya terpampang di sana karena rakyat sudah antipati duluan akibat pemasangan baliho, spanduk, dan sejenisnya yang tidak elok. Alih-alih rakyat tertarik dengan foto, semboyan, ucapan, atau permintaan dukungan dalam baliho, spanduk, dan sejenisnya itu, rakyat justru malah dapat saja menggerutu, sebal, kesal, bahkan protes meskipun hanya dalam hati. Hal itu dapat saja berpengaruh terhadap rakyat atas para bakal calon dalam gambar tersebut.

Pandangan yang sudah muncul di kalangan rakyat, terutama yang bersifat negatif, tentu akan merugikan siapa pun bakal calon kandidat yang ditampilkan. Alih-alih memperkenalkan diri atau jagoannya dalam rangka megambil hati rakyat atau meminta dukungan rakyat, justru rakyat dapat saja memberikan catatan khusus. Rakyat sekarang ini tidak lagi mempan hanya disuguhi baliho, spanduk, dan sejenisnya itu apalagi foto atau wajah yang dipampang di situ kurang disukai oleh rakyat.

Konsekuensinya, rakyat bukan tertarik atau simpatik kepada tokoh yang foto atau wajahnya terpampang di berbagai baliho, poster, dan lain-lain. Justru rakyat akan menganggap tokoh-tokoh tersebut sangat ambisius untuk meraih jabatan, khsusuanya, jabatan Presiden. Padahal, banyak di antara tokoh tersebut saat ini sedang memegang jabatan penting pula baik dalam pemerintahan maupun parpol. Tokoh-tokoh tersebut ada yang jadi pimpinan lembaga negara, menteri, ketua umum parpol, dan sebagainya.

Pertanyaan rakyat sederhana saja, yaitu mengapa mereka sudah memasang foto atau wajahnya untuk Pilpres 2024 dan bukan fokus kepada pekerjaan dan jabatannya sekarang. Padahal, rakyat juga tahu bahwa pekerjaan dan jabatan yang diemban oleh tokoh-tokoh tersebut tidak ringan, sehingga tidak mungkin “disambi” dengan kegiatan perkenalan, sosialisasi, atau kampanye terselubung tersebut. Jika itu yang terjadi, artinya mereka tidak fokus dan sungguh-sungguh dalam pekerjaan dan pekerjaannya.

Perkenalan, sosialisasi, permohonan doa restu, atau apa pun istilah yang digunakan oleh tokoh-tokoh yang berniat maju dalam Pilpres 2024 tidak ada yang melarang. Bahkan, proses tersebut dapat saja menguntungkan pihak tertentu, terutama para pelaku bisnis baliho, spanduk, poster, dan sebagainya. Pelaku bisnis tersebut tentu saja akan memetik hasil yang lumayan dengan maraknya pemasangan baliho, spanduk, poster, dan lain-lain dari para bakal calon kandidat yang berniat mencalonkan diri dalam Pilpres.

Namun demikian, secara umum hal tersebut dapat saja dianggap mengganggu ketenangan rakyat atau bahkan mengusik kesedihan rakyat yang sedang menghadapi pandemi COVID-19 yang belum usai. Alih-alih para pembesar negeri ini fokus mengurusi kepentingan rakyat, justru malah sibuk mematut diri untuk menjadi bakal calon kandidat presiden. Kenyataan tersebut sungguh suatu ironi yang sangat mengganggu akal sehat demokrasi yang mengutamakan kepentingan rakyat.  Dalam hal ini, rakyat bukan dibuat senang, bahagia, atau terbebas dari pandemi COVID-19 malah disuguhi baliho, poster, dan sebagainya. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below