Menyoal Kualitas Undang-Undang Di Indonesia

Oleh: Hernadi Affandi

Dalam tataran praktik, sering terjadi atau ditemukan persoalan terkait dengan keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan, khususnya undang-undang. Persoalan yang muncul di masyarakat antara lain terjadinya keresahan, kegaduhan, ketidakadilan, bahkan kesewenang-wenangan. Hal itu menjadi ironi di mana seharusnya undang-undang mengatur dan menyelesaikan masalah, tetapi justru menjadi sumber masalah itu sendiri. Oleh karena itu, muncul pertanyaan apa faktor penyebab terjadinya persoalan dengan undang-undang yang dikeluarkan oleh lembaga berwenang.

Secara teoretis, persoalan tersebut antara lain disebabkan oleh peraturan perundang-undangan tersebut yang tidak baik dalam pembentukannya. Hal itu membawa akibat kualitas dari peraturan perundang-undangan menjadi kurang baik dan dampaknya menimbulkan persoalan bagi masyarakat. Akibatnya, masyarakat mencari upaya untuk menghentikan keberlakuan peraturan perundang-undangan tersebut, misalnya menguji undang-undang ke Mahkamah Konstitusi (MK) atau menguji peraturan pemerintah (PP) atau peraturan daerah (perda) ke Mahkamah Agung (MA).

Data Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan bahwa sejak dibentuknya MK tercatat sebanyak 1.430 buah undang-undang sudah diregistrasi untuk dilakukan pengujian. Sementara itu, sebanyak 1.392 permohonan pengujian sudah diputus dengan rincian sebagai berikut: kabul (267), tolak (498), tidak diterima (458), tarik kembali (137), gugur (23), dan tidak berwenang (9). Data tersebut menunjukkan bahwa sudah demikian banyak undang-undang yang dianggap memiliki atau menimbulkan masalah. Oleh karena itu, undang-undang tersebut kemudian dimintakan diuji kepada MK sebagai lembaga yang berwenang untuk menilai keberlakukannya.

Keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan turut ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat (dasar-dasar, landasan) peraturaan perundang-undangan yang baik. Syarat-syarat peraturan perundang-undangan yang baik sebagai landasan atau dasar penyusunan produk hukum agar berlaku efektif, efisien, dan adil. Dengan kata lain, syarat peraturan perundang-undangan yang baik menjadi penting dalam menghasilkan peraturan perundang-undangan yang berkualitas. Selain itu, syarat peraturan perundang-undangan yang baik jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan peraturan perundang-undangan tersebut batal demi hukum atau dapat dibatalkan.

Akibat demikian pentingnya syarat-syarat peraturan perundang-undangan yang baik wajib diketahui, dikuasai, dan dipenuhi dalam pembentukan setiap jenis atau bentuk peraturan perundang-undangan oleh para pembentuknya. Pemenuhan syarat (dasar, landasan) pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diharapkan akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang berkualitas baik. Hal itu menjadi kata kunci dalam menghasilkan produk peraturan perundang-undangan yang harus diperhatikan oleh para pembentuknya pada semua tingkatan baik pada tingkat pusat maupun daerah.

Pembahasan tentang syarat-syarat (dasar-dasar, landasan) peraturan perundang-undangan yang baik dapat ditinjau dari doktrin (pendapat pakar) dan hukum positif (undang-undang yang berlaku saat ini). Prof. Bagir Manan menyebutkan dasar-dasar peraturan perundang-undangan yang baik ada empat, yaitu dasar yuridis, dasar sosiologi, dasar filosofis, dan dasar teknik perancangan. Selain itu, banyak pakar lain menambahkan syarat atau dasar lainnya seperti syarat agamis, syarat politis, syarat ekonomis, syarat ekologis, syarat populis, syarat psikologis, syarat humanis, dan lain-lain.

Adapun pengertian dasar yuridis menurut Prof. Bagir Manan mengandung 4 aspek. Pertama, keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Suatu peraturan perundang-undangan yang tidak didasarkan kewenangan akan mengakibatkan batal demi hukum. Kedua, keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat.

Ketiga, keharusan mengikuti tata cara tertentu, apabila tata cara tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum, tidak atau belum mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-undang tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan UUD. Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan tingkat lebih bawah. Misalnya, PP tidak boleh bertentangan dengan UU, Perpres tidak boleh bertentangan dengan PP, dan Perda tidak boleh bertentangan dengan PP.

Selanjutnya, dasar sosiologis artinya mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Dalam satu masyarakat industri, hukumnya harus sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat industri tersebut. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan, tuntutan, atau masalah-masalah yang dihadapi seperti: masalah perburuhan, masalah hubungan majikan-buruh, masalah upah, masalah perjanjian kerja, masalah pemutusan hubungan kerja, dan sebagainya Dengan dasar sosiologis ini diharapkan peraturan perundang-undangan yang dibuat akan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan.

Sementara itu, dasar filosofis artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakikat sesuatu. Dalam kaitannya dengan dasar filosofis dari suatu peraturan perundang-undangan ada standar tertentu yang dijadikan patokannya. Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai ini ada yang dibiarkan dalam masyarakat, sehingga setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan harus dapat menangkapnya setiap kali akan membentuk hukum atau peraturan perundang-undangan. Untuk Indonesia, sistem nilai tersebut sudah terangkum dalam Pancasila.

Dengan demikian, setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan sudah semestinya memperhatikan sungguh-sungguh cita-hukum yang terkandung dalam Pancasila. Oleh karenanya, setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, dan sumber segala sumber hukum negara. Nilai-nilai tersebut adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below