Menyoal Misteri Supersemar

Oleh: Hernadi Affandi

Setiap memasuki tanggal 11 Maret selalu terjadi kembali diskursus seputar kelahiran dan keberadaan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Kelahiran dan keberadaan Supersemar selalu menjadi bahan diskusi yang menarik oleh berbagai kalangan baik akademisi, politisi, bahkan masyarakat awam sekalipun. Namun demikian, diskusi tersebut belum sampai kepada kesimpulan yang sama dan dapat diterima umum, bahkan justru tanpa kesimpulan yang jelas. Akhirnya, kelahiran dan keberadaan Supesemar masih menjadi misteri dalam politik dan hukum di Indonesia sampai saat ini. Bahkan, kemungkinan besar misteri tersebut akan terus menyelimuti seputar kelahiran dan keberadaan Supersemar itu sendiri.

Keberadaan Supersemar bukan saja mengandung selimut misteri dalam proses kelahiran, bentuk, isi, maupun dampaknya terhadap politik dan hukum. Berbagai persoalan tersebut selalu mengundang diskusi yang tidak pernah tuntas karena “misteriusnya” proses kelahiran, keberadaan, dan dampaknya bagi negara ini. Persoalan tersebut seakan tidak pernah tuntas dan terbuka karena sumber-sumber yang terlibat sebagian besar sudah tidak ada saat ini. Kepergian para pelaku sejarah seputar kelahiran dan keberadaan Supersemar tersebut seakan menyisakan sepenggal persoalan bangsa ini untuk terus menjadi misteri yang tidak mudah untuk diungkap seterang-terangnya.

Banyak versi yang membahas kelahiran dan keberadaan Supersemar termasuk para pihak yang terlibat di dalam proses kelahirannya. Salah satu buku yang membahas kelahiran dan keberadaan Supersemar tersebut berjudul “Supersemar Palsu Kesaksian Tiga Jenderal” ditulis oleh A. Pambudi. Buku tersebut cukup komprehensif membahas seputar misteri kelahiran dan keberadaan Supersemar. Buku tersebut terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu Bagian Pertama, Tiga Versi Supersemar; Bagian Kedua, Kesaksian Tiga Jenderal; dan Bagian Ketiga Pengambilalihan Kekuasaan Secara Perlahan-lahan. Dalam ketiga bagian buku tersebut terdapat poin-poin yang menguraikan lebih rinci dari kelahiran dan keberadaan Supersemar.

Beberapa poin penting yang menonjol dalam menguraikan proses kelahiran Supersemar, Pambudi menjelaskan bahwa kelahiran Supersemar tidak terlepas dari peristiwa G 30 September 1965. Sejak saat itu, terjadi konflik antara istana dengan Markas Kostrad di mana intinya terjadi perbedaan pendapat terkait dengan konsep Nasakom yang dijalankan oleh Presiden Soekarno. Sebelum kelahiran Supersemar, Angkatan Darat sering mengeluhkan sikap Bung Karno yang enggan membubarkan PKI. Hal ini pula yang kemudian menjadi landasan dalam melakukan langkah pertama yang diambil oleh Pengemban Supersemar untuk membubarkan PKI.

Menurut catatan Pambudi, keluarnya Supersemar diawali dengan gerakan mahasiswa yang terjadi pada tanggal 11 Maret 1966. Pada saat itu, ribuan mahasiswa bergerak untuk membubarkan rapat Kebinet Dwikora yang sedang berlangsung di Istana Merdeka. Mahasiswa pada waktu itu meneriakkan tri tuntutan rakyat (Tritura), yaitu bubarkan PKI, rombak kabinet, dan turunkan harga. Presiden Soekarno yang sedang berada di Istana Merdeka kemudian meninggalkannya dan pergi ke Bogor. Itu alasan mengapa Supersemar dikeluarkan di Bogor bukannya di Jakarta, sehingga Supersemar itu “dijemput” ke Istana Bogor oleh Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Amir Machmud.

Selanjutnya, Pambudi mengulas terjadinya kontroversi terkait dengan adanya tiga versi Supersemar. Versi pertama dan kedua, seperti yang dimuat di dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka. Versi kedua, Supersemar terdiri dari satu halaman seperti yang diakui Sekretariat Negara. Versi ketiga, Supersemar terdiri dari dua halaman seperti yang diungkapkan oleh penulis buku biografi Jenderal M Yusuf. Kontroversi terkait dengan versi mana yang benar dari Supersemar tersebut justru menjadi misteri yang tidak pernah terungkap sampai saat ini. Bahkan, pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam proses kelahiran Supersemar sendiri kemudian berbeda persepsi atas Supersemar yang benar atau asli.

Persoalan lainnya adalah ketika Supersemar itu dijadikan landasan oleh Letnan Jenderal Soeharto untuk melakukan beberapa tindakan. Adapun tindakan pertama adalah membubarkan PKI berdasarkan wewenang yang ada pada SP 11 Maret 1966 (Supersemar). Menurut alasannya, Supersemar itu dikeluarkan di saat negara dalam keadaan gawat di mana integritas Presiden, ABRI, dan rakyat sedang berada dalam bahaya, sedangkan keamanan, ketertiban, dan pemerintahan berada dalam keadaan berantakan. Namun demikian, tindakan tersebut kemudian dianggap sebagai coup terselubung dengan berlandaskan Supersemar tersebut.

Meskipun, tudingan itu dibantah oleh Pak Harto sendiri di dalam biografinya seperti yang dikutip juga oleh Pambudi. Beliau menyatakan bahwa “Saya tidak pernah menganggap Supersemar itu sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan. Surat Perintah 11 Maret itu juga bukan merupakan alasan untuk mengadakan coup secara terselubung. Supersemar itu adalah awal perjuangan Orde Baru”. Di satu sisi, kelahiran Supersemar selalu diidentikkan dengan kelahiran Orde Baru sekaligus sebagai mulainya kekuasaan Orde Baru di bawah pimpinan Pak Harto. Di sisi lain, Supersemar justru dijadikan kambing hitam terjadinya kejatuhan Presiden Soekarno, meskipun kejatuhannya dilakukan oleh MPRS.

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below