Menyoal Nasib Guru Di Era Pandemi COVID-19

Oleh: Hernadi Affandi

Persoalan yang menimpa guru di Indonesia masih saja muncul ke permukaan seakan-akan silih berganti dan betubi-tubi. Persoalan yang satu belum tuntas sudah muncul lagi persoalan baru yang memerlukan perhatian dan pemecahan dengan segera. Keadaan itu menambah daftar panjang masalah yang harus dibenahi dan diperbaiki agar nasib guru tidak bertambah buruk. Persoalan klasik yang dihadapi oleh para guru adalah terkait dengan kesejahteraan, kelayakan, keadilan, dan sebagainya. Berbagai persoalan itu selalu menyelimuti guru pada khususnya dan pendidikan pada umumnya. Berbagai persoalan tersebut menjadi semakin besar karena selalu bertambah dan bertumpuk dari waktu ke waktu tanpa ada penyelesaian secara tuntas.

Persoalan besar dan klasik yang menimpa guru tersebut dalam situasi normal belum tuntas dieselesaikan sudah muncul persoalan baru yang tidak kalah pentingnya. Dalam beberapa bulan terakhir, muncul persoalan baru seiring dengan situasi pandemi corona virus disease 19 (COVID-19). Guru tidak saja terdampak secara ekonomi, tetapi juga pekerjaannya menjadi bertambah berat karena dihadapkan kepada persoalan teknis yang harus dilakukan dalam mendidik anak muridnya. Jika sebelum ini pengajaran dilakukan di kelas secara normal dalam arti tatap muka secara langsung, namun akibat pandemi COVID-19 tugas itu harus dilakukan melalui media online alias daring. Perubahan cara pengajaran tersebut tidak mudah dijalani dan dilaksanakan karena berbagai alasan.

Pelaksanaan pengajaran melalui daring ternyata tidak selalu mudah disebabkan berbagai faktor, mulai dari kebiasaan, kemampuan, bahkan ketersediaan prasaran dan sarana penunjangnya. Bagi sebagian kalangan guru mungkin saja hal itu tidak terlalu masalah karena dapat cepat melakukan adaptasi, termasuk mampu menyediakan prasarana dan sarana yang diperlukan dalam pengajaran daring. Namun, bagi sebagian kalangan guru lainnya, terutama yang ada di daerah hal itu tidak serta-merta mudah diatasi dengan baik. Keadaan itu dihadapi lebih sulit lagi oleh para guru yang masih berstatus honorer karena tidak mampu menyiapkan prasarana dan sarana yang diperlukan dalam belajar secara daring tersebut.

Tuntutan profesi guru yang harus profesional seperti ditegaskan di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen ternyata menjadi semakin sulit terpenuhi. Secara ideal menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Guru dan Dosen bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.” Namun, dalam situasi pandemi COVID-19 seperti saat ini, hal itu tidak mudah dipenuhi karena sebagian guru justeru tidak mampu menyediakan sendiri prasarana dan sarana yang diperlukan dalam proses pembelajaran daring tersebut.

Kebutuhan untuk pelaksanaan pembelajaran melalui daring bukan hanya kemampuan penguasaan teknologi semata-mata, tetapi juga kesiapan prasarana dan sarananya sekaligus. Artinya, guru harus menyiapkan mulai dari materi pelajaran, jaringan internet, dan termasuk perangkat keras berupa gadget seperti laptop, komputer, atau setidaknya telepon genggam pintar (smart handphone). Semua itu, bagi kalangan guru tertentu mungkin bukan hal yang sulit untuk dipenuhi karena sudah tersedia sebelum masa pandemi COVID-19. Tetapi, untuk guru tertentu apalagi yang masih berstatus honorer dengan bayaran ala kadarnya, hal itu menjadi beban tersendiri. Jangankan untuk membeli perangkat keras dan internet atau kuotanya, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja masih menghadapi kesulitan.

Sekali lagi, secara ideal Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen memang telah menegaskan adanya kewajiban bagi seorang guru untuk memiliki kemampuan profesional. Pasal 8 tersebut berbunyi: “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.” Namun, sekali lagi hal itu pun tidak mudah untuk dipenuhi oleh sebagian guru, terutama guru honorer yang harus memenuhi semua kebutuhan tersebut secara mandiri alias dengan uang sendiri. Tuntutan profesionalitas justeru menjadi tidak logis ketika semua itu harus ditanggung oleh uang pribadi masing-masing guru apalagi oleh guru honorer tersebut. Alasannya, kemampuan guru adalah berbeda-beda baik dari sisi keuangan, teknologi, kebiasaan, dan sebagainya.

Tuntutan profesionalitas guru justeru menjadi kewajiban yang disertai sanksi cukup berat sebagaimana diatur dan ditegaskan di dalam Pasal 20 Undang-Undang Guru dan Dosen. Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban:

  1. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
  2. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahtlan, teknologi, dan seni;
  3. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
  4. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
  5. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Namun, kewajiban itu tampaknya tidak mudah untuk dilaksanakan oleh guru secara utuh dan penuh pada masa pandemi COVID-19. Seperti dijelaskan di atas, sebagian guru masih ada yang belum mampu memenuhi kebutuhan pembelajaran baik gadget maupun jaringan internetnya. Akibatnya, untuk dirinya saja sulit memenuhi pembelajaran secara daring karena fasilitasnya tidak tersedia. Keadaan itu bertambah sulit ketika justeru ada anak muridnya yang juga sama-sama tidak mampu menyediakan perangkat keras dan jaringan internetnya. Buat guru mungkin masih bisa memaksakan mencari cara untuk memenuhi kebutuhan itu, sehingga apa pun yang terjadi pembelajaran dapat dilaksanakan.

Namun, buat siswa belum tentu hal itu dapat terpenuhi dengan mudah karena kemampuan orang tuanya yang jauh lebih sulit daripada guru honorer tersebut. Akibatnya, kemungkinan besar murid tersebut tidak memiliki akses untuk mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan melalui daring tersebut karena tidak memiliki laptop, komputer, termasuk jaringan atau kuotanya. Pertanyaannya, jika itu terjadi apakah merupakan kesalahan guru atau kesalahan siapa? Kesannya, guru dalam hal itu melakukan diskriminasi karena tidak memberikan kesempatan kepada murid yang tidak mampu tersebut untuk bergabung di kelas. Padahal, persoalannya bukan pada guru yang melakukan pembatasan atau melakukan diskriminasi, tetapi karena memang muridnya yang tidak memiliki perangkatnya untuk bergabung di kelas tersebut.

Hal-hal semacam itu ternyata muncul selama pandemi COVID-19 dalam delapan bulan terakhir ini. Namun, persoalan-persoalan itu belum sepenuhnya terpecahkan dengan baik oleh pihak terkait secara komprehensif dan tuntas. Keluhan-keluhan yang muncul baik dari kalangan guru sendiri maupun dari para murid atau orang tuanya belum mampu ditangani baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sebagai pihak berwenang dalam penyelenggaraan pendidikan. Sebagai akibatnya, selama pandemi COVID-19 kegiatan belajar mengajar bukan saja tidak efektif, bahkan menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Keadaan tersebut seakan-akan harus ditanggung oleh pihak sekolah khususnya para guru yang justeru juga memiliki persoalan yang sama akibat pandemi COVID-19 tersebut.

Persoalan lain yang dihadapi oleh para guru adalah pemenuhan hak-hak normatif mereka sebagaimana yang sudah diatur di dalam Pasal 14 Undang-Undang Guru dan Dosen. Secara enumeratif, hak-hak yang diberikan kepada guru di dalam undang-undang tersebut memang banyak, setidaknya ada 11 (sebelas) poin. Di satu sisi, jumlah hak yang banyak itu menunjukkan bahwa guru memiliki jaminan hak yang baik dalam profesinya. Namun, di sisi lain, hak tersebut juga belum seutuhnya terwujud sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, hak-hak tersebut masih merupakan angan-angan yang belum dirasakan secara nyata dan utuh oleh para guru, terutama para guru honorer.

Adapun Pasal 14 Undang-Undang Guru dan Dosen menegaskan sebagai berikut:

(1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:

  1. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
  2. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
  3. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
  4. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
  5. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
  6. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;
  7. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
  8. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
  9. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
  10. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
  11. memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan

Di dalam Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf a dijelaskan bahwa “Yang dimaksud dengan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum adalah pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup guru dan keluarganya secara wajar, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, maupun jaminan hari tua.” Berdasarkan ketentuan tersebut, bagi kalangan guru yang sudah berstatus PNS semua itu akan diperoleh sesuai kepangkatan dan jabatan fungsionalnya. Dengan kata lain, hak itu benar-benar diterima dan dirasakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik dalam Undang-Undang Guru maupun peraturan pelaksananya.

Pertanyaannya adalah apakah hal itu juga dirasakan oleh semua guru, termasuk guru honorer? Kemungkinan jawabannya adalah “tidak” karena guru honorer pembayarannya bukan menjadi tanggungan negara. Dalam hal ini, negara hanya mengakui dan mengutamakan guru yang berstatus PNS, sedangkan guru honorer tidak menjadi tanggung jawab negara. Persoalan ini justeru yang kemudian menimbulkan tanda tanya besar mengapa guru honorer tidak diangkat menjadi guru tetap alias menjadi guru yang berstatus PNS. Padahal, guru-guru honorer itu banyak yang sudah puluhan tahun mengabdi tanpa pamrih, sehingga sangat wajar mereka mendapatkan prioritas untuk diangkat jadi PNS.

Persoalan belum terpenuhinya hak guru sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a di atas, semakin terasa ketika dikaitkan dengan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Guru dan Dosen. Pasal tersebut berbunyi: “Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.” Struktur gaji yang cukup banyak tersebut sayangnya tidak dirasakan oleh seluruh guru, terutama guru honorer.

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below