Menyoal Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kesembilan Belas)

Oleh: Hernadi Affandi

Adanya dualisme undang-undang yang mengatur Ibu Kota Negara akan mengakibatkan dualisme Ibu Kota Negara secara de jure dan de facto. Apabila asumsi tersebut benar adanya, hal itu tentu akan menimbulkan persoalan lainnya, yaitu persoalan keempat seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya.

Persoalan dualisma Ibu Kota Negara akan menimbulkan kekacauan dalam menentukan tempat pengadministrasian peraturan perundang-undangan. Pengadministrasian peraturan perundang-undangan di sini antara lain terkait dengan tempat dilakukannya pengesahan atau penetapan dan pengundangan.

Selama ini, tempat melakukan pengesahan atau penetapan dan pengundangan adalah di Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Hal itu terjadi karena belum ada tempat lain yang kedudukannya sama-sama sebagai Ibu Kota Negara atau dengan kata lain tidak ada “saingan” yang akan dijadikan tempat pengesahan atau penetapan dan pengundangan.

Pengalaman menunjukkan bahwa pengadministrasian peraturan perundang-undangan selalu dilakukan di Ibu Kota Negara bukan di tempat lain. Hal itu juga terjadi ketika Ibu Kota Negara pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, di mana Yogyakarta yang digunakan sebagai tempat pengadministrasiannya bukan lagi Jakarta.

Akibat adanya dualisme Ibu Kota Negara saat ini tentu akan timbul kesulitan dalam menentukan tempat dilakukannya pengesahan atau penetapan dan pengundangan peraturan perundang-undangan. Pertanyaannya adalah apakah akan menggunakan Ibu Kota lama atau Ibu Kota baru sebagai tempat pengadiministrasiannya.

Sebagai informasi saja, menurut Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011, khususnya angka 164 dijelaskna bahwa: Penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang-undangan memuat: a. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan; b. nama jabatan; c. tanda tangan pejabat; dan d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar, pangkat, golongan, dan nomor induk pegawai.

Untuk tempat penandatanganan pengesahan atau penetapan peraturan perundang-undangan yang dimaksud tersebut adalah Ibu Kota Negara. Peraturan perundang-undangan di sini mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang, peraturan pemerintah, dan peraturan presiden.

Seluruh peraturan perundang-undangan tersebut akan menggunakan Ibu Kota Negara sebagai tempat pengesahan atau penetapan, dan pengundangannya. Bahkan, produk hukum lainnya yang ada di tingkat pusat selain yang dikategorikan peraturan perundang-undangan juga akan menggunakan hal yang sama.

Oleh karena itu, dualisme Ibu Kota Negara dalam waktu yang bersamaan akan menimbulkan persoalan bahkan kekacauan apakah akan menggunakan yang lama atau yang baru. Apalagi ketika terjadi perpindahan ke Ibu Kota Negara yang baru dilakukan secara bertahap, semakin menunjukkan dualisme tersebut.

Keadaan tersebut tampak sepele tetapi akan menjadi persoalan serius ketika menyangkut keabsahan suatu produk peraturan perundang-undangan. Salah satu keabsahan dari peraturan perundang-undangan adalah dibentuk sesuai dengan ketentuan atau pedoman dalam pembentukannya sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below