Menyoal “Utak-Atik” Masa Jabatan Presiden

Oleh: Hernadi Affandi

Beberapa waktu terakhir terdapat wacana dari segelintir orang untuk membuka peluang masa jabatan Presiden menjadi tiga periode. Wacana tersebut diembuskan oleh segelintir pihak yang menginginkan “perpanjangan” masa jabatan dari 2 kali menjadi 3 kali atau setidaknya ditambah beberapa tahun.

Seperti biasa, wacana tersebut kemudian menimbulkan pendapat pro dan kontra di masyarakat yang terus bergulir dan menggelinding seperti bola salju. Akibatnya, sebagian energi masyarakat terkuras untuk membicarakan persoalan tersebut baik langsung maupun tidak langsung, baik terbuka maupun tertutup.

Kalangan yang setuju tentu saja mencari “alasan pembenar” dengan berbagai argumen dan pendapat yang dianggap logis sesuai dengan versinya. Berbagai hasil karya dan kinerja Presiden Jokowi disodorkan sebagai alasan pembenar bahwa yang bersangkutan layak diberi kesempatan menjabat satu periode lagi.

Alternatifnya, jika perpanjangan satu periode lagi tidak mungkin adalah cukup diperpanjang beberapa tahun yang penting diberi kesempatan terus memimpin. Meskipun kedua hal tersebut akan melanggar konstitusi, kelompok yang setuju seakan tidak memperdulikan akibatnya jika hal itu terus dipaksakan.

Sebaliknya, kalangan yang kontra tentu mengedepankan juga alasannya yang lebih konstitusional dan berdasarkan kepatutan. Masa jabatan Presiden saat ini sudah jelas dan tegas diatur di dalam konstitusi, yaitu UUD 1945, sebagai landasan konstitusional bernegara termasuk berbangsa, dan bermasyarakat.

Masa jabatan Presiden pada masa gerakan reformasi sempat menjadi sorotan masyarakat baik kalangan akademisi maupun para aktivis demokrasi. Hal tersebut muncul disebabkan tidak ada kepastian berapa kali seorang Presiden dapat memegang jabatan, sehingga pada waktu sempat sampai 7 kali berturut-turut.

Peristiwa tersebut disebabkan UUD 1945 tidak menegaskan berapa kali seorang Presiden dan Wakil Presiden dapat memegang jabatan. Pasal 7 UUD 1945 sebelum perubahan berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”

Ketentuan tersebut sebenarnya sudah memberikan pembatasan dari segi waktu, yaitu 5 tahun, tetapi tidak menegaskan berapa periode atau berapa kali. Ketidakjelasan ketentuan tersebut ditafsirkan dan “dimanfaatkan” oleh MPR pada masa Orde Baru untuk memilih Presiden yang sama sebanyak tujuh kali.

Pada saat reformasi dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 terutama untuk materi muatan yang dianggap kurang jelas dan multitafsir tersebut. Pasal 7 UUD 1945 setelah perubahan menjadi berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Ketentuan baru tersebut memberikan pembatasan agar terjadi kepastian hukum berapa kali seseorang dapat menjabat Presiden termasuk Wakil Presiden. Meskipun tidak disebutkan angka dua kali secara eksplisit di dalam ketentuan tersebut, secara implisit menyatakan adanya pembatasan maksimal selama dua kali masa jabatan.

Dengan demikian, secara maknawi seorang Presiden yang sama hanya dapat memegang jabatan sekali, tetapi jika terpilih lagi dapat memegang jabatan yang sama untuk sekali lagi. Namun setelah itu, Presiden tersebut sudah tidak mungkin lagi dipilih untuk masa jabatan ketiga kalinya meskipun masih dianggap mampu dan layak.

Oleh karena itu, adanya upaya mengutak-atik masa jabatan Presiden tentu akan bertentangan dengan UUD 1945 yang saat ini berlaku. Bahkan, seandainya UUD 1945 diubah kembali untuk memuluskan hasrat segelintir orang tersebut agar sah dan konstitusional tentu akan melanggar kepatutan yang sudah dijalankan selama ini.

Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below