Perang Bintang: Bintang Empat Versus Empat Bintang

Oleh: Hernadi Affandi

Dalam beberapa hari ini, masyarakat terperangah dengan adanya pencopotan pejabat tinggi di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tingkat daerah. Seperti sudah diketahui publik bahwa Kepala Polri (Kapolri) telah mencopot dua pejabat di lingkungan kepolisian daerah (Polda), yaitu Kapolda Jawa Barat dan Kapolda Metro Jakarta Raya. Pencopotan kedua pejabat tersebut kemudian menimbulkan pendapat pro dan kontra bahkan kontroversi di masyarakat. Seperti biasa, muncul berbagai analisis, spekulasi, dan pertanyaan sehubungan dengan peristiwa tersebut di kalangan masyarakat.

Kekagetan masyarakat tentu sangat beralasan karena pejabat yang diganti tersebut tidak tanggung-tanggung yaitu berjumlah dua orang dalam waktu yang bersamaan. Masyarakat luas pun tahunya bahwa pencopotan dua pejabat tersebut adalah karena sebagai buntut adanya kelalaian dan pembiaran yang dilakukan oleh kedua Kapolda tersebut. Jelasnya, kedua pejabat tersebut dianggap tidak mampu membendung kerumunan massa di tengah pandemi corona virus disease 19 (COVID-19). Dengan kata lain, kedua pejabat tersebut dianggap tidak mampu menangani masalah di daerahnya masing-masing.

Penggantian pejabat sebenarnya merupakan hal yang biasa-biasa saja alias sangat wajar terjadi dalam dunia birokrasi atau pemerintahan. Terlebih di lingkungan kepolisian (atau di TNI pun demikian) para pimpinan sering mengatakan seperti itu jika ada pergantian jabatan penting di lingkungannya. Pimpinan sering berdalih bahwa “ini hanya rutinitas, rotasi, dan promosi”, “sudah biasa tidak ada unsur politis,” dan ungkapan lain yang sejenis. Pada intinya, pergantian pejabat bukan merupakan suatu peristiwa luar biasa yang harus dikait-kaitkan dengan peristiwa lain apalagi dengan peristiwa atau latar belakang politik praktis tertentu.

Ada kalanya, masyarakat juga tidak terlalu mempermasalahkan penggantian pejabat di mana pun mau di lingkungan kepolisian, TNI, jajaran kabinet, birokrasi, maupun di tempat lainnya. Masyarakat sudah maklum pasti alasan atau jawabannya adalah alasan atau jawaban standard seperti tadi. Masyarakat pun cukup diam menyaksikan atau hanya “bisik-bisik” di antara mereka tanpa ada kejelasan jawaban yang sesungguhnya kecuali berbagai spekulasi atau “anilisis pak kusir” alias “debat kusir” di antara mereka. Biasanya pihak yang terlibat diskusi pun tidak punya alasan pasti yang dapat meyakinkan pihak lawannya karena memang sama-sama tidak tahu permasalahan sesungguhnya.

Lima Pertanyaan

Selain analisis pinggiran tersebut yang belum tentu kebenarannya, karena hanya pihak tertentu saja yang mengetahuinya, masyarakat justeru lebih banyak bertanya. Setidaknya terdapat lima pertanyaan yang mencuat ke permukaan terkait dengan persoalan di atas. Pertanyaan tersebut sekaligus juga menimbulkan jawaban dan analisis versi masyarakat yang sekali lagi belum pasti kebenarannya. Namun, pertanyaan itu dianggap mewakili keingintahuan masyarakat yang menghendaki penjelasan dari pihak berkompeten agar tidak justeru menjadi analisis “liar” yang bergulir di tengah masyarakat.

Pertanyaan pertama adalah apakah alasan pemberhentian atau penggantian kedua Kapolda tersebut? Secara kasat mata dan sudah dirilis di berbagai media bahwa alasan pencopotan kedua pejabat tersebut diduga karena adanya pembiaran terjadinya kerumunan massa pada saat penjemputan Habib Rizieq Shihab dari Arab Saudi di Bandar Udara Soekarno-Hatta Tangerang di wilayah hukum Polda Banten. Selain itu, adanya kerumunan massa pada saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Bogor yang termasuk wilayah hukum Polda Jawa Barat. Terakhir adalah juga terjadinya kerumunan massa pada saat pernikahan puteri Habib Rizieq Shihab yang berada di wilayah hukum Polda Metro Jakarta Raya.

Alasan tersebut sebenarnya justeru menjadi tanda-tanya besar bagi masyarakat karena banyak juga kegiatan kerumunan massa yang tidak diambil tindakan hukum apalagi mengganti pejabat kepolisian tertinggi di daerah tersebut. Kapolda adalah jabatan kepolisian tertinggi untuk tingkat daerah provinsi, tapi tidak ada Kapolda yang diganti karena alasan serupa di daerah lain. Selain itu, jika alasannya kerumunan massa di daerah yang menjadi tanggung jawabnya mengapa hanya dua Kapolda yang dicopot, sedangkan Kapolda Banten tidak dicopot. Padahal, Bandara Soekarno-Hatta berada di wilayah hukum Polda Banten. Ini juga pertanyaan lanjutan dari pertanyaan pertama yang belum terjawab tuntas.

Pertanyaan kedua adalah apakah kesalahan yang ditimpakan kepada dua Kapolda itu sudah benar dan tepat? Benar di sini dalam arti sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau peraturan perundang-undangan mana yang dilanggar oleh kedua Kapolda tersebut? Tepat dalam arti apakah sudah sepadan kesalahan dengan hukuman tersebut? Kesalahan yang ditindak dengan hukuman yang tidak sepadan tentu dapat merupakan bentuk ketidakadilan. Kesalahan semestinya dihukum secara setimpal supaya tercipta keadilan karena hukuman pada prinsipnya untuk mewujudkan keadilan atau keseimbangan.

Jabatan Kapolda tentu sangat strategis dalam lingkup kepolisian daerah karena merupakan puncak jabatan di tingkat daerah. Banyak contoh, keberhasilan dalam mengemban amanah di tingkat Polda justeru karirnya akan terus melejit sampai ke puncak tertinggi di lingkungan Polri alias menjadi Kapolri. Namun, jika sebaliknya ketika mengemban jabatan strategis di tingkat daerah itu justeru dianggap gagal akan sulit untuk menggapai posisi yang lebih tinggi. Dengan kata lain, jabatan Kapolda biasanya menjadi tolok-ukur untuk ke jenjang Kapolri. Mesikipun semua itu akan terpulang kembali kepada Presiden dalam pemilihan dan pengangkatan Kapolri selanjutnya.

Pertanyaan ketiga adalah apakah kedua pejabat tersebut sudah diberikan kesempatan untuk “membela diri” atau setidaknya “memberikan penjelasan” atas dugaan atau tuduhan yang menjadi alasan pencopotannya? Persoalan penggantian Kapolda yang didasarkan kepada “penilaian pimpinan” semata-mata tanpa memberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan atau memberikan penjelasan tentu akan menjadi tindakan kesewenang-wenangan. Pimpinan memang memiliki kewenangan untuk memberikan hukuman tapi tetap harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukuman semestinya tidak dijatuhkan karena pandangan subjektif apalagi alasan di luar ketentuan peraturan perundang-undangan atau alasan lain yang tidak berdasar.

Dalam konteks itu, masyarakat umum belum mendengar adanya mekanisme “pembelaan diri” dalam suatu sidang kode etik atau apa pun namanya sebagai bentuk “pengadilan”  internal kepolisian dalam kasus tersebut. Masyarakat tahunya begitu ada peristiwa kerumunan massa seperti dijelaskan di atas kedua pejabat tersebut langsung dicopot dari jabatannya. Hal ini juga menunjukkan ketiadaan keadilan, transparansi, atau akuntabilitas di tubuh Polri dalam menyelesaikan permasalahan internalnya. Masyarakat tidak pernah tahu keadaan sesungguhnya dari kepolisian yang dicintainya karena memang tidak ada informasi yang memadai secara resmi dari institusi kepolisian sendiri. Oleh karena itu, masyarakat hanya sebatas menduga-duga dan berspekulasi atas pencopotan kedua pejabat tersebut

Pertanyaan keempat adalah apakah pencopotan itu murni sebagai bentuk reward and punishment atau justeru karena ada faktor lain. Masyarakat justeru menilai bahwa di balik pencopotan kedua Kapolda tersebut sedang terjadi “perang bintang”. Alasannya, sebentar lagi akan ada pergantian jabatan Kapolri, mengingat pejabat saat ini sebentar lagi akan memasuki masa pensiun. Artinya, beberapa waktu ke depan akan ada pejabat baru yang akan segera menggantikan pejabat saat ini, kecuali Presiden memperpanjang jabatannya. Pencopotan kedua pejabat tersebut dianggap sebagai bagian dari “strategi permainan”  untuk memuluskan pihak tertentu dengan cara menyingkirkan rival yang dianggap potensial.

Jabatan Kapolda dengan bintang dua di pundak tentu memiliki peluang untuk bersaing di dalam bursa pengisian jabatan Kapolri meskipun peluangnya tidak terlalu besar. Akan tetapi, karena pejabat tersebut diberhentikan secara tiba-tiba dapat saja “dikonotasikan” negatif karena dianggap tidak mampu memimpin, sehingga penilaiannya tentu akan negatif pula di mata pihak terkait bahkan di mata masyarakat. Jika spekulasi itu benar tentu besar kemungkinan karir dua pejabat tersebut akan “tamat” sampai di sini. Meskipun dapat saja justeru akan terjadi sebaliknya jika nasib baik berpihak kepadanya. Hal itu akan dikembalikan kepada pihak yang berwenang dalam hal ini, yaitu Presiden yang akan mengusulkan dan DPR yang akan melakukan uji kepatutan.

Pertanyaan kelima adalah bagaimana akhir dari “perang bintang” tersebut ke depannya. Perang bintang tersebut memang melibatkan pihak-pihak yang sama-sama empat bintangnya, yang satu “bintang empat” karena merupakan pejabat tertinggi di lingkungan kepolisian. Sementara, “empat bintang” merupakan gabungan dari dua orang dengan masing-masing dua bintang dianggap sebagai representasi dua kandidat potensial yang dapat saja justeru salah satu di antara keduanya yang akan menjadi pimpinan tertinggi di tubuh Polri ke depannya. Jika itu terjadi, artinya “perang bintang” itu belum berakhir sampai di sini. Perang bintang tersebut diprediksi akan terus berlanjut dengan “perang bulan”.

Artinya, selanjutnya yang terkena imbasnya adalah proses “pemusnahan” jajaran “kawan-kawan” atau “loyalis” pejabat saat ini. Jika ini yang terjadi, “perang bintang” antara “bintang empat” dengan “empat bintang” belum tentu dimenangkan secara nyata oleh bintang empat, karena empat bintang yang terdiri dari dua orang bintang dua ini dapat berkolaborasi untuk melawan “musuh” yang sama. Dengan kata lain, siapa pun yang akan jadi pimpinan Polri dari “empat bintang”, artinya dari dua orang ini, akan memudahkan untuk melakukan “revenge” di dalam perang berikutnya.

Penutup

Analisis dan sekaligus pertanyaan masyarakat di atas sekali lagi dengan catatan jika semua yang dianalisis oleh masyarakat awam tersebut benar adanya. Jika asumsi “perang bintang” misalnya benar adanya karena akan ada pergantian Kapolri beberapa waktu ke depan tentu saja dapat menjadi lain lagi ceritanya. Sebaliknya, jika hal itu tidak benar anggap saja sebagai bentuk perhatian sekaligus kekhawatiran dari masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat justeru memberikan masukan berharga terhadap kepolisian yang dicintainya. Dengan kata lain, hal itu merupakan bentuk harapan yang tinggi dari masyarakat untuk terciptanya Polri yang solid ke depannya.

Masyarakat tentu tidak mau melihat ada pesoalan di dalam tubuh Polri yang dicintainya. Sekecil apa pun masalah yang dihadapi oleh Polri pasti akan membuat rakyat khawatir karena pasti akan berimbas kepada aspek lainnya baik langsung atau tidak langsung. Rakyat pasti akan selalu berharap yang terbaik dari Polri, termasuk Polri mampu tetap solid dalam situasi dan kondisi apa pun. Sebesar apa pun masalah yang dihadapi oleh Polri secara internal diharapkan tidak berpengaruh kepada tugas intinya yaitu melayani dan mengayomi masyarakat. Oleh karena itu, Polri sendiri harus meyakinkan masyarakat bahwa saat ini tidak sedang terjadi seperti dugaan masyarakat, yaitu adanya perang bintang di antara bintang empat versus empat bintang.

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below