Hati-hati Jika Anda Pinjam Ke Bank

Makramat.com. Kasus perbankan yang memilukan dialami oleh Hady, seorang pedagang kaki lima, di Tangerang. Ia pernah meminjam uang ke salah satu BPR di Tangerang sebesar Rp 250 juta, tetapi utangnya tersebut melonjak menjadi hampir Rp 1,5 milyar dalam waktu delapan tahun.

Hal itu dialami oleh Hady ketika pada 2011 ia mengajukan kredit kepada salah satu BPR di Tangerang sebesar Rp 250 juta untuk jangka waktu 3 tahun dengan jaminan sebuah rumah seharga Rp 1,6 milyar.

Namun, ketika memasuki cicilan ketiga ia tidak mampu membayar cicilannya. Setelah lebih dari delapan tahun kemudian, ia didatangi oleh petugas BPR tersebut dan memberitahukan bahwa utangnya menjadi Rp 1.471.558.725,00.

Tentu saja Hady sangat kaget dengan tagihan sebesar itu karena utangnya telah melonjak lebih dari lima kali lipat. Ia mencoba meminta keringanan dari pihak BPR dengan mengajukan restrukturisasi utang, tetapi ditolak oleh pihak BPR. Ia diharuskan segera membayar seluruh utangnya tersebut tanpa diberi waktu tambahan.

Akibat Hady tidak mampu membayar utangnya yang sangat membengkak tersebut, rumahnya yang dijadikan jaminan dilelang dengan harga Rp 390 juta. Padahal, rumah tersebut seharga Rp 1,6 milyar.

Ironisnya, ia masih dianggap berutang kepada BPR tersebut sebesar Rp 1,081 milyar. Artinya. ia sudah sangat dirugikan dengan perlakuan dari BPR tersebut.

Akhirnya, ia meminta bantuan hukum kepada Posbakum KAI-Perjuangan yang beralamat di Jl. Juanda No. 4a, Jakarta Pusat 10120. Ia berharap Posbakum tersebut dapat memperjuangkan kepentingan dan haknya.

Untungnya, Posbakum KAI-P yang komit membela rakyat kecil bersedia membantu dalam kasus Hady tersebut. Untuk itu, Posbakum telah melakukan langkah-langkah hukum guna membantu kesulitan yang dihadapi Hady.

Menurut Ketua Posbakum KAI-P, Muhammad Yuntri, S.H., M.H., setelah melakukan “legal due diligence,” ia menemukan adanya kejanggalan yang fatal dalam kasus ini.

Yuntri mensinyalir ada oknum BPR tersebut yang telah merekayasa identitas Hady dengan cara membuatkan KTP palsu atas nama Hady, tetapi dengan menggunakan alamat lain yang berbeda dari alamat Hady yang sebenarnya.

Ketua Posbakum tersebut menambahkan bahwa BPR tersebut ternyata telah mencantumkan alamat palsu tersebut dan selanjutnya dijadikan bahan laporan kepada Bank Indonesia maupun kepada OJK RI.

BPR tersebut juga menggunakan alamat palsu nasabah tersebut, sehingga tidak heran korespondensi atau surat menyurat dari BPR itu ditujukan ke alamat palsu tersebut. Artinya, Hady sebagai nasabah BPR tersebut sama sekali tidak pernah mengetahui adanya surat-menyurat atau peringatan apa pun dari BPR tersebut.

Atas dasar itu, Yuntri telah mengambil langkah dengan mendampingi kliennya untuk membuat laporan kepada polisi di Polres Metro Tangerang.

Laporan itu tercatat di Restro Tangerang dengan Nomor: TBL/B/493/VI/2020/PMJ/Restro Tangerang Kota tanggal 17 Juni 2020 terkait dengan Pasal 263 tentang tindak pidana pembuatan KTP palsu.

Selain itu, Yuntri juga melaporkan kasus tersebut ke Polda Metro Jaya dengan registrasi Nomor: TBL/3.588/VI/YAN.2.5/2020/SPKT PMJ tanggal 23 Juni 2020. Laporan tersebut terkait dengan Pasal 49 ayat (1) huruf a jo. Pasal 70 UU No. 10 tahun 1998  Tentang Perbankan.

Laporan tersebut dikaitkan juga dengan  Pasal 64 KUH Pidana tentang pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank.

Selain melaporkan kasus tersebut ke pihak kepolisian, Yuntri juga melaporkan peristiwa tersebut kepada Gubenur Bank Indonesia dan Ketua OJK RI pada tanggal 29 Juni 2020

Laporan tersebut terkait dengan adanya perbuatan nakal BPR dalam praktik perbankan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, terutama Peraturan Bank Indonesia.

Menurut ketentuan Pasal 31 dan Pasal 34 Peraturan  Bank Indonesia  No. 14/15/PBI/2012 tanggal 24 Oktober 2012, pertambahan jumlah denda dan bunga harus dihentikan karena kualifikasi pinjaman berstatus macet dan harus dicarikan solusinya.

“Akan tetapi. BPR tersebut sama sekali tidak melakukannya, sehingga menimbulkan kecurigaan adanya modus operandi tertentu dalam kasus tersebut.” Demikian Yuntri mengakhiri penjelasannya. (RP).

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below