Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Kedelapan Belas)

Oleh: Hernadi Affandi

Pengenalan konsep pengadilan HAM untuk semua jenis dan bentuk pelanggaran HAM dan bukan hanya untuk pelanggaran HAM berat tentu akan mengubah banyak hal. Dalam hal ini, pelanggaran HAM tidak hanya difokuskan kepada pelanggaran HAM berat, tetapi juga terhadap pelanggaran HAM nonberat alias pelanggaran HAM ringan, sedang, atau biasa. Oleh karena itu, pengertian pengadilan HAM yang selama ini sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU PHAM) perlu ditinjau kembali.

Bahkan, pengertian pelanggaran HAM berat dapat saja diganti dengan istilah lain, misalnya dengan istilah kejahatan HAM, agar berbeda dengan pengertian pelanggaran HAM nonberat (ringan, sedang, biasa). Hal itu akan berimplikasi pula terhadap jenis dan bentuk sanksi yang mungkin akan dijatuhkan kepada pelaku pelanggaran HAM akan berbeda dengan sanksi terhadap pelaku kejahatan HAM. Seperti sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa seberat-beratnya pelanggaran, termasuk pelanggaran HAM berat sekalipun, tetap saja “hanya” sebagai pelanggaran bukan kejahatan.

Oleh karena itu, sanksi untuk pelaku pelanggaran HAM berat bukan dengan hukuman maksimal, yaitu hukuman mati, tetapi lebih kepada sanksi kurungan atau sanksi lainnya di luar hukuman mati. Apabila hal itu diterapkan di Indonesia, semestinya pelaku pelanggaran HAM berat juga tidak diberi sanksi sampai hukuman mati karena jenisnya “hanya” pelanggaran bukan kejahatan. Pemilihan diksi ini ke depan perlu dipertimbangkan kembali apakah pelanggaran HAM berat sebaiknya diganti dengan kejahatan HAM agar pelakunya dapat diberikan sanksi maksimal, yaitu hukuman mati.

Penentuan apakah suatu pelanggaran HAM itu bersifat berat, ringan, atau sedang semestinya juga ditentukan rambu-rambunya di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya dalam undang-undang. Dalam hal ini, misalnya diatur tentang pengertian, kriteria, dan ruang lingkup pelanggaran HAM, pelanggaran HAM berat (kejahatan HAM), atau pelanggaran HAM nonberat (ringan, sedang, atau biasa). Artinya, penetapan kriteria dan ruang lingkupnya tidak harus bersifat limitatif dengan membatasi jenis-jenis dan bentuk-bentuk pelanggaran tersebut secara kaku, tetapi dibiarkan secara longgar dan luwes.

Pembagian tersebut semata-mata hanya untuk menjadi pedoman bagi pihak-pihak terkait dalam menyelesaikan pelanggaran HAM tersebut. Pihak-pihak terkait tersebut dapat saja adalah polisi, jaksa, hakim, pengacara, korban, pelaku, akademisi, aktivis HAM, atau pihak lainnya. Dalam hal ini, penentuan apakah sudah terjadi pelanggaran HAM yang mana diserahkan kepada mekanisme pembuktian di dalam persidangan. Para pihak terkait harus mampu dan benar-benar membuktikan adanya jenis dan bentuk pelanggaran sesuai dengan perdebatan argumentatif, akademik, bahkan saintifik.

Selanjutnya, proses berjalannya pengadilan HAM tersebut harus diserahkan kepada lembaga peradilan tersebut yang dibentuk secara independen, transparan, dan akuntabel. Secara singkat dapat dikatakan bahwa proses peradilan diserahkan kepada “mekanisme pengadilan” pada umumnya seperti yang sudah berjalan selama ini. Dalam hal ini, proses peradilan sekaligus juga sebagai proses pembelajaran dalam menentukan dan memilah mana pelanggaran HAM berat (atau kejahatan HAM), dan mana pelanggaran HAM nonberta alias ringan atau sedang. Proses ini akan menjadi ajang beradu argumentasi, fakta, data, bukti, dan lain-lain terkait dengan pelanggaran HAM itu sendiri.

Faktor lain yang harus mendapatkan perhatian adalah terkait dengan kelembagaan pengadilan HAM ke depan termasuk keberadaannya di mana dan seperti apa. Secara kelembagaan, keberadaan pengadilan HAM tersebut juga perlu dipikirkan ulang apakah akan menggunakan tempat yang selama ini sudah berjalan untuk pengadilan HAM berat atau harus ada perubahan. Penulis sendiri memiliki hipotesis bahwa keberadaan pengadilan HAM yang ada saat ini perlu direstrukturisasi dan direvitalisasi secara komprehensif. Hal ini penting untuk mengefektifkan dan mengefisienkan keberadaan pengadilan HAM ke depan.

Selama ini, ada dua jenis pengadilan HAM sendiri, yaitu pengadilan HAM (tetap atau permanen), dan pengadilan HAM ad hoc. Keduanya sama-sama sebagai pengadilan HAM, tetapi memiliki kewenangan yang berbeda.  Di dalam UU PHAM memang tidak ditegaskan adanya dua jenis pengadilan HAM, yaitu pengadilan HAM (yang bersifat tetap atau permanen) dan pengadilan HAM ad hoc. Namun, di dalam ketentuan pasal-pasalnya terdapat pemisahan di antara dua jenis pengadilan HAM tersebut. Artinya, pengadilan HAM itu ada yang bersifat tetap atau permanen dan ada yang bersifat ad hoc (sementara atau tentatif).

Kehadiran pengadilan HAM, seperti dijelaskan di dalam Penjelasan Umum UU PHAM adalah untuk “mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia perlu dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia yang merupakan pengadilan khusus bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Sementara itu, keberadaan pengadilan HAM ad hoc seperti dijelaskan juga di dalam Penjelasan UU PHAM adalah untuk mengadili perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU PHAM. Dalam hal ini ada pembagian tugas di antara dua pengadilan tersebut berdasarkan waktu peristiwa pelanggaran HAM itu apakah sebelum atau setelah keluarnya UU PHAM.

Penjelasan Umum UU PHAM antara lain berbunyi sebagai berikut: “Oleh karena itu Undang-undang ini mengatur pula tentang Pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan berada di lingkungan Peradilan Umum.” Dengan demikian, keberadaan pengadilan HAM ad hoc selain karena alasan yang bersifat waktu (sementara atau tentatif) juga karena alasan peristiwa tertentu (kasuistis). (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below