Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Ketujuh Belas)

Oleh: Hernadi Affandi

Kata kunci penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM tersebut juga tidak diatur dan dijelaskan di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU PHAM). Ketiadaan pengaturan dan penjelasan kata-kata kunci tersebut ditengarai berpengaruh terhadap pengertian pelanggaran HAM itu sendiri. Pertanyaannya adalah bagaimana hubungan antara penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM dengan pelanggaran HAM.

Pasal 1 angka 6 UU HAM memberikan definisi pelanggaran HAM sebagai berikut: “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”

Namun, dari pengertian pelanggaran HAM tersebut tidak menunjukkan hubungannya dengan kata kunci, yaitu “penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM” baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini, pelanggaran HAM hanya merupakan suatu perbuatan pihak tertentu (seseorang, kelompok, aparat negara), dengan cara tertentu (disengaja, tidak disengaja, kelalaian, membatasi, mencabut), dan terhadap pihak tertentu (seseorang, kelompok orang). Namun, dalam hal itu tidak jelas kata kunci mana yang dianggap dilanggar, apakah “penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, atau pemenuhan”.

Secara umum semestinya dapat dipahami bahwa pelanggaran HAM akan terkait dengan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. Kata-kunci tersebut sangat jelas dan operasional bahwa semua tindakan atau perbuatan yang tidak menghormati, melindungi, memajukan, menegakkan, dan/atau memenuhi HAM sebagai indikasi melakukan pelanggaran HAM. Dengan kata lain, apabila suatu pihak tidak melakukan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan/atau pemenuhan HAM artinya pihak tersebut dapat dianggap melakukan pelanggaran HAM.

Berdasarkan hipotesis tersebut, pengertian pelanggaran HAM akan menjadi lebih jelas dan operasional di dalam tataran praktik. Apabila kata-kata kunci tersebut dianggap belum jelas perlu dikembangkan dan dipilah lagi kata-kata operasional yang dapat digunakan di dalam pelanggaran HAM itu. Misalnya, kata pembiaran, pembatasan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, pembudakan, atau diskriminas itu termasuk ke dalam konteks pelanggaran yang mana, apakah terhadap “penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan/atau pemenuhan HAM.”

Kualitas pelanggaran HAM yang dilakukan dalam konteks pelanggaran terhadap “penghormatan” misalnya akan berbeda dengan konteks “perlindungan”. Demikian pula halnya, pelanggaran terhadap “pemajuan” akan berbeda dengan pelanggaran terhadap “penegakan”, dan/atau “pemenuhan”. Kata-kata operasional itu sebagai contoh yang akan dapat digunakan dalam menilai kualitas pelanggaran HAM yang terjadi, apakah pelanggaran HAM berat, sedang, atau ringan. Kriteria tersebut dapat digunakan sebagai pelengkap untuk mengakomodasi pengertian pelanggaran HAM yang tidak termasuk kualitas pelanggaran HAM berat. Dengan kata lain, kata-kata operasional tersebut untuk menegaskan pengertian pelanggaran HAM nonberat di samping pelanggaran HAM berat.

Perdebatan akademik lainnya yang penting diperhatikan adalah penggunaan kata “pelanggaran” untuk “pelanggaran HAM”, termasuk juga “pelanggaran HAM berat”. Misalnya, di dalam UU PHAM muncul istilah pelanggaran HAM berat, tetapi tidak muncul pelanggaran HAM “sedang, ringan, biasa, atau nonberat” sebagai lawan dari pelanggaran HAM berat. Istilah pelanggaran HAM berat tersebut sebagai terjemahan dari gross violation of human rights, serious violation of human rights, flagrant violation of human rights, dan lainlain. Dalam hal ini, istilah yang digunakan adalah violation (pelanggaran) bukan kejahatan (crimanility), felony, dan lain-lain.

Istilah yang digunakan di negara-negara lain untuk menyebut “pelanggaran HAM berat” tersebut adalah gross violation dan lain-lain itu dan bukan “kejahatan HAM”. Penulis berasumsi bahwa hal itu berimplikasi terhadap sanksi yang diancamkan kepada pelakunya yang tidak sampai hukuman mati. Seberat-beratnya pelanggaran, termasuk pelanggaran HAM berat sekalipun, di negara-negara itu tidak diberikan sanksi hukuman mati. Dalam hukum sebagian besar negara-negara yang mengedepankan HAM justru sudah menghilangkan hukuman mati atas pelanggaran HAM tersebut. Oleh karena itu, istilah yang digunakan adalah pelanggaran HAM bukan kejahatan HAM.

Selanjutnya, perdebatan juga terkait dengan adanya pengkhususan lembaga pengadilan hanya untuk pengadilan HAM berat. Padahal, seperti sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa pelanggaran HAM itu dapat berupa pelanggaran HAM berat maupun pelanggaran HAM nonberat. Oleh karena itu, lembaga pengadilannya sendiri semestinya tidak dikhususkan bagi pelanggaran HAM berat. Pengadilan HAM semestinya untuk semua pelanggaran HAM. Dengan demikian, pengadilan HAM adalah lembaga untuk mengadili seluruh jenis dan bentuk pelanggaran HAM bukan hanya untuk pelanggaran HAM berat saja. Persoalan HAM apa atau mana yang akan dibawa ke pengadilan, hal itu diserahkan kepada ketentuan peraturan perundang-undangan dan praktik ke depan. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below