Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Kedua Puluh Satu)

Oleh: Hernadi Affandi

Pengalihan pengadilan HAM yang sudah berdiri sendiri sebagai sebuah lingkungan peradilan HAM dan menjadi berada di bawah Mahkamah Konstitusi (MK) tentu akan mengubah struktur kekuasaan kehakiman. Keberadaan MK selama ini yang hanya berada di puncak kekuasaan kehakiman bersama dengan MA, ke depan akan sama-sama memiliki lingkungan peradilan di bawahnya. Kehadiran lingkungan peradilan HAM di bawah MK bukan saja akan mengakomodasi penyelesaian semua jenis dan bentuk pelanggaran HAM, tetapi juga dapat memberi kewenangan baru kepada MK dalam melindungi dan menegakkan HAM.

Keberadaan lingkungan peradilan HAM di bawah MK secara langsung atau tidak langsung hal itu akan mengubah pula mekanisme dan lembaga yang akan mengadili pelanggaran HAM di Indonesia. Dalam hal ini, lingkungan peradilan HAM dapat dibentuk mulai dari tingkat paling rendah pada kabupaten atau kota seperti halnya pengadilan negeri dalam lingkungan peradilan umum, pengadilan agama pada lingkungan peradilan agama, atau pengadilan tata usaha negara pada lingkungan peradilan tata usaha negara. Dengan demikian, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi dapat dimulai dari tingkat pengadilan tersebut.

Selanjutnya, pengadilan HAM juga dibentuk pada tingkat provinsi seperti halnya pengadilan tinggi pada lingkungan peradilan umum, pengadilan tinggi agama pada lingkungan peradilan agama, atau pengadilan tinggi tata usaha negara pada lingkungan peradilan tata usaha negara. Terakhir, pengadilan HAM yang berada di lingkungan peradilan HAM tersebut berpuncak kepada MK sebagai pucuk kekuasaan kehakiman dari lingkungan peradilan  HAM. Dengan demikian, secara kelembagaan akan tersedia pengadilan HAM mulai dari tingkat paling rendah sampai dengan paling tinggi seperti halnya semua lingkungan peradilan yang ada di bawah MA berpuncak ke MA.

Setelah lembaganya tersedia, mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM dapat ditentukan dengan lebih jelas dan terpola. Untuk mewujudkan itu perlu ada perubahan dan penyesuaian mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM seperti yang sudah diakomodasi di dalam UU HAM dan UU PHAM. Di dalam UU PHAM misalnya ditegaskan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat akan melibatkan Komnas HAM dan Jaksa Agung. Sementara itu, dalam konteks pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum keluarnya UU PHAM juga akan melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden dalam membentuk pengadilan HAM ad hoc.

Beberapa ketentuan tersebut antara lain tercantum dalam Pasal 18, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 43 UU PHAM. Pasal 18 ayat (1) UU PHAM menyebutkan bahwa “Penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.” Pasal 21 ayat (1) UU PHAM menyebutkan bahwa “Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.” Secara umum, ketentuan tersebut dapat dipertahankan atau bahkan dilakukan perubahan dan penyesuaian jika terjadi perubahan mekanisme dan lembaga dalam penyelesaian pelanggaran HAM dalam pengadilan HAM “versi baru”.

Selanjutnya, Pasal 23 ayat (1) UU PHAM menyebutkan bahwa “Penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.” Sementara itu, Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU PHAM berbunyi: (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. (2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.”

Mekanisme tersebut dapat dipertahankan atau dapat juga dilakukan perubahan agar lebih fleksibel dalam menyelesaikan pelanggaran HAM. Misalnya, pemilahan itu dapat dilakukan mulai dari tahap penyelidikan tidak harus langsung oleh Komnas HAM, tetapi oleh penyelidik yang dibentuk Komnas HAM. Penyidikan juga tidak harus langsung oleh Jaksa Agung, tetapi oleh jajaran instansi Kejaksaan Agung mulai dari Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, sampai Kejaksaan Agung. Dengan demikian, mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM ke depan akan mirip seperti dalam penanganan pelanggaran dan kejahatan yang ada di lingkungan peradilan umum.

Secara sederhana mekanisme itu dapat diringkas sebagai berikut: pemilahan itu dapat dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di pengadilan. Misalnya, penyelidik akan memulai penyelidikan terhadap suatu pelanggaran HAM itu masuk ke mana, apakah pelanggaran HAM berat atau nonberat. Selanjutnya, penyidik juga demikian akan menyidik atau melakukan penyidikan yang sesuai dengan pelanggaran HAM itu masuk ke mana. Pencarian alat bukti, saksi, dan lain-lain akan memperkuat dasar dalam pemilahan pelanggaran HAM yang terjadi itu masuk ke mana.

Selanjutnya, atas dasar hasil penyidikan itu penuntut umum misalnya dapat mengajukan penuntutan dalam sidang sesuai dengan kriteria, alat bukti, saksi, dan lain-lain yang diperoleh dari hasil penyidikan tersebut. Dengan proses dan mekanisme seperti itu, semua jenis dan bentuk pelanggaran HAM akan dapat diajukan ke pengadilan HAM tanpa harus membatasi hanya untuk pelanggaran HAM berat. Dengan semikian, pemilahan suatu pelanggaran HAM apakah masuk ke dalam pelanggaran HAM berat atau nonberat akan bergantung kepada para pihak yang terkait tersebut dalam memandang suatu pelanggaran HAM. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below