Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia  (Bagian Keempat Puluh Delapan)

Oleh: Hernadi Affandi

Terlepas dari adanya perbedaan pengaturan tentang batasan usia anak yang disebutkan di dalam UU HAM, yaitu 18 tahun, dengan undang-undang lainnya, secara normatif setiap orang yang masih berusia di bawah 18 tahun termasuk kategori anak menurut UU HAM. Meskipun jika dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan lain terdapat sedikit perbedaan tentang pengertian anak dengan orang dewasa, secara normatif dalam konteks HAM yang berlaku adalah UU HAM. Dengan demikian, apabila ada kepentingan anak yang menuntut pertanggungjawaban hukum akan dikembalikan kepada batas usia anak, yaitu 18 tahun.

Secara enumeratif, terdapat cukup banyak hak anak yang diatur di dalam UU HAM baik di dalam bagian tersendiri maupun di dalam pasal lain yang berkaitan dengan kepentingan anak. Hak anak diatur secara khsusus di dalam Bab III bagian kesepuluh yang mengatur hak anak terdiri dari 15 pasal, mulai dari Pasal 52 sampai dengan Pasal 66. Di samping itu, terdapat pasal lain yang mengatur tentang hak anak, meskipun tidak secara khusus berada di bagian kesepuluh tentang anak tersebut. Pasal-pasal tersebut antara lain yang terkait dengan hak wanita seperti yang pernah disampaikan pada bagian sebelumnya.

Secara tegas, hak anak antara lain diatur di dalam Pasal 52 UU HAM yang terdiri dari 2 ayat. Selengkapnya, Pasal 52 berbunyi sebagai berikut: (1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. (2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Keberadaan hak anak diakui sebagai hak asasi manusia (HAM) seperti halnya hak wanita yang ditegaskan juga sebagai HAM. Konsekuensi pengakuan hak anak sebagai HAM antara lain akan berpengaruh terhadap perlindungan dan penegakannya.

Pengakuan dan penegasan hak anak sebagai HAM membawa konsekuensi bahwa hak anak mendapatkan perlindungan sejak dalam kandungan. Hal itu antara lain ditegaskan di dalam Pasal 53 UU HAM. Selengkapnya, Pasal 53 berbunyi sebagai berikut: (1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. (2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. Dalam hal ini, hak anak dimulai sejak dalam kandungan dilanjutkan setelah kelahiran antara lain hak untuk mendapatkan nama termasuk status kewarganegaraan.

Pelaksanaan hak anak terkait dengan status kewarganegaraan menjadi penting terutama apabila anak tersebut merupakan hasil perkawinan campuran. Perkawinan campuran di sini artinya salah satu orang tuanya berkewarganegaraan asing atau bukan WNI baik ibu maupun bapaknya. Kepentingan anak di sini harus mendapatkan perhatian jangan sampai anak tidak memiliki kewarganegaraan akibat perkawinan campuran orang tuanya yang berbeda kewarganegaraan. Demikian pentingnya status kewarganegaraan anak, sehingga hukum kewarganegaraan Indonesia sangat memperhatikan status kewarganegaraan anak tersebut.

Status kewarganegaraan anak lebih lanjut diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU Kewarganegaraan). Di dalam UU Kewarganegaraan tersebut antara lain ditegaskan tentang anak dan status kewarganegaraan anak. Secara prinsip, setiap anak akan diakui sebagai WNI apabila termasuk ke dalam 12 kategori sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 huruf b sampai dengan huruf m. Dengan demikian, secara hukum anak diakui sebagai WNI bukan hanya karena ibu dan bapaknya WNI, tetapi juga jika salah satunya WNI, atau dengan beberapa catatan tertentu.

Adapun anak yang secara otomatis diakui sebagai WNI apabila: b anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia; c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing; d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia; e. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.

Selanjutnya adalah: f. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia; g. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia; h. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;  i. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.

Selanjutnya adalah: j. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui; k. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya; l. anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan; m. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below