Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Keempat Puluh Lima)

Oleh: Hernadi Affandi

Kesetaraan dan keadilan gender wanita tersebut kemudian lebih dikonkretkan di dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu). Meskipun UU Pemilu tersebut juga sudah dicabut, sama seperti halnya UU Parpol, kehadirannya menjadi pembuka bagi wanita untuk lebih banyak masuk ke lembaga perwakilan untuk semua tingkatan pada waktu itu. Adanya sinergitas antara kedua undang-undang tersebut kemudian membuka peluang wanita untuk lebih aktif di ranah politik makin terbuka dengan lebar.

Ketentuan yang membuka peluang wanita untuk masuk ke lembaga perwakilan antara lain tersirat di dalam Pasal 65 ayat (1) UU Pemilu. Rumusan tersebut berbunyi sebagai berikut “Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.” Pasal tersebut sifatnya masih “menghimbau” agar setiap parpol memperhatikan keterwakilan wanita (perempuan) dalam pencalonan anggota lembaga pewakilan dalam menghadapi pemilu tahun 2004.

Pada perkembangan selanjutnya, ketentuan terkait dengan keterwakilan perempuan tersebut lebih ditegaskan di dalam UU Pemilu yang baru seiring dengan perubahan dan penggantian UU Nomor 12 Tahun 2003 (UU Pemilu yang sebelumnya). Perubahan dilakukan dengan dikeluarkannya UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemlihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu). Meskipun undang-undang tersebut saat ini juga sudah diganti dan dicabut, beberapa materi muatannya dapat dicatat sebagai kemajuan dari UU Pemilu yang digantikannya.

Dalam UU Pemilu tersebut antara lain ditegaskan adanya kewajiban parpol untuk memenuhi syarat keterwakilan perempuan pada saat mendaftarkan jadi peserta pemilu. Persyaratan tersebut bersifat wajib apabila sebuah parpol mau menjadi peserta pemilu. Ketentuan tersebut ditegaskan di dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d, sehingga harus dibaca “Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: d. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”.

Ketentuan terkait dengan keterwakilan perempuan di dalam UU Pemilu tersebut meskipun baru hanya bersifat formalitas, dokumen persyaratannya menjadi salah satu kelengkapan pendaftaran parpol calon peserta pemilu. Persyaratan tersebut akan menjadi bahan verifikasi bagi KPU sesuai dengan tingkatannya, di samping juga harus diumumkan di media masa baik cetak maupun elektronik. Ketentuan baru tersebut pada waktu itu semakin menegaskan adanya kesungguhan untuk semakin membuka keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan rakyat yang didahului dari hulunya, yaitu parpol.

Hal itu ditegaskan di dalam Pasal 15 huruf d, sehingga harus dibaca “Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) meliputi: d. surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Penjelasan Pasal 15 huruf d menjelaskan bahwa “yang dimaksud dengan “penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) sesuai dengan peraturan perundang-undangan” adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 20, dan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol).

Selanjutnya, penegasan parpol di dalam menyusun daftar calonnya harus memenuhi keterwakilan perempuan juga ditegaskan di dalam Pasal 53 UU Pemilu tersebut. Pasal 53 berbunyi sebagai berikut “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Dalam pasal tersebut, ketentuan tentang keterwakilan perempuan sudah semakin jelas dan tegas karena sudah dimasukkan ke dalam daftar calon bukan hanya dalam daftar pengurus parpol. Daftar calon tersebut yang akan menjadi dasar para pemilih memilih calon wakilnya di lembaga perwakilan mulai dari pusat sampai daerah.

Adapun ketentuan yang secara eksplisit mengatur keterwakilan perempuan di dalam UU Parpol adalah Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 20. Selengkapnya, Pasal 2 ayat (5) berbunyi sebagai berikut: “Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Selanjutnya, Pasal 20 berbunyi sebagai berikut “Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing.”

Sementara itu, Pasal 51 ayat (2) tidak terlalu eksplisit mengatur keterwakilan perempuan, tetapi menugaskan parpol untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 ayat (5). Seperti dijelaskan di atas bahwa ketentuan tersebut terkait dengan kepengurusan Papol tingkat pusat yang harus menyertakan paling rendah 30% keterwakilan perempuan. Pasal 51 ayat (2) berbunyi sebagai berikut “Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) paling lama pada forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik pada kesempatan pertama sesuai dengan AD dan ART setelah Undang-Undang ini diundangkan.” (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below