Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Keempat Puluh Tujuh)

Oleh: Hernadi Affandi

Selain mengatur hak wanita dalam keluarga, hak yang juga sudah mendapatkan pengaturan secara tegas dalam keluarga adalah hak anak. Namun demikian, berbeda halnya dengan HAM wanita (perempuan) yang tidak diatur sama sekali di dalam UUD 1945 dan hanya diatur di dalam UU HAM, hak anak justru mendapatkan pengaturan baik di dalam UUD 1945 maupun UU HAM. Meskipun hak anak di dalam UUD 1945 hanya mendapatkan penambahan satu ayat, secara substantif penambahan tersebut memperkaya materi muatan UUD 1945 yang terkait dengan HAM anak.

Sebelum perubahan UUD 1945, secara umum pengaturan tentang anak(-anak) diatur di dalam Pasal 34 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Perhatian terhadap anak pada waktu itu lebih khusus ditujukan kepada anak-anak yang terlantar bukan anak pada umumnya. Dalam hal ini, anak yang dimaksudkan bukan dalam pengertian anak yang berada dalam suatu keluarga yang utuh, dipelihara dengan baik, atau sudah mendapatkan hak-hak sebagai anak. Dengan kata lain, anak yang menjadi perhatian adalah anak-anak yang tidak mendapatkan hak-haknya.

Setelah dilakukan perubahan UUD 1945, terutama pada perubahan kedua seiring dengan dimasukkan materi muatan HAM yang cukup banyak dan lengkap, terdapat pasal dan ayat baru yang terkait dengan hak anak. Ketentuan tersebut antara lain diatur di dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Penegasan hak anak yang baru tersebut menambah hak anak yang sebelumnya hanya mengatur (hak) anak-anak terlantar.

Ketentuan di dalam UUD 1945 terkait dengan hak anak memang tidak lengkap karena harus dikaitkan pula dengan hak setiap orang. Di dalam pengertian hak setiap orang termasuk pula di dalamnya hak anak atau sebaliknya hak anak terdapat di dalam hak setiap orang. Bahkan, hak anak juga termasuk di dalam pengertian hak setiap warga negara jika anak tersebut adalah WNI. Dalam pelaksanaannya, pelaksanaan hak anak akan didampingi oleh orang tua atau walinya jika kebutuhan anak membutuhkannya. Dengan demikian, anak baik yang tidak terlantar atau yang terlantar sama-sama memiliki hak sebagai anak seutuhnya.

Secara khusus, UU HAM memberikan definisi atau pengertian tentang anak seperti tercantum di dalam Pasal 1 angka 5 UU HAM sebagai berikut: “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.” Berdasarkan definisi tersebut terdapat beberapa unsur pengertian anak, yaitu: pertama, setiap manusia maksudnya “setiap orang”; kedua, berusia di bawah 18 tahun; ketiga, belum menikah. Selain itu, pengertian anak juga termasuk anak (bayi) yang masih dalam kandungan.

Secara tersirat pengertian anak sebenarnya dimaksudkan sebagai “lawan” dari “dewasa” atau “orang dewasa”. Pengertian tersebut akan memiliki konsekuensi terhadap hak dan kewajiban anak itu sendiri atau pihak lain ketika berkaitan dengan kepentingan anak termasuk kedua orang tua, wali, bahkan negara atau pemerintah. Dalam hal-hal tertentu, anak mendapatkan perlakuan khusus, dikecualikan dari perlakuan tertentu, atau tindakan lain yang dianggap tidak atau belum pantas dilakukan. Semua itu ditujukan demi kebaikan anak itu sendiri karena secara usia belum dianggap dewasa, sehingga secara psikologis dianggap belum matang.

Namun demikian, secara normatif terdapat beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang berbeda dalam mendefinisikan anak baik secara langsung atau tidak langsung. Sebagai contoh, Undang-Undang Pemilu, misalnya, menentukan syarat untuk dapat memilih adalah berusia 17 tahun ke atas. Artinya, usia 17 tahun sudah dianggap dewasa atau usia 17 tahun sudah bukan lagi dianggap anak atau dalam kategori anak. Ketentuan batas usia 17 tahun tersebut sebenarnya sudah ada sejak UU Pemilu dikeluarkan pada tahun 1969 pada masa Orde Baru (UU Nomor 15 Tahun 1969) sampai saat ini.

Namun demikian, UU Pemilu yang pertama kali dikeluarkan sejak ada UU HAM, yaitu UU Nomor 12 Tahun 2003 tidak mengubah ketentuan hak pilih aktif tersebut dari 17 tahun menjadi 18 tahun. Artinya, UU Pemilu tersebut tetap mengatur bahwa hak untuk memilih adalah 17 tahun bukan di atas 18 tahun seperti halnya UU HAM mengatur batas usia anak. Hal tersebut dapat dilihat di dalam Pasal 13 UU Pemilu yang berbunyi sebagai berikut “Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.”

Artinya, UU Pemilu tersebut, bahkan UU Pemilu selanjutnya, memasukkan usia 17 tahun sebagai usia dewasa karena sudah diberi hak untuk memilih. Bahkan, secara argumentum a contrario, “seorang anak” yang masih berusia di bawah 17 tahun juga sudah dianggap dewasa dan boleh memilih apabila yang bersangkutan “sudah kawin” atau “pernah kawin”. Padahal, syarat untuk kawin (menikah) semestinya sudah dewasa atau sebaliknya yang belum dewasa semestinya belum diperbolehkan kawin (menikah). Dengan demikian, terdapat kontradiksi antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain, sehingga perlu disinkronkan. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below