Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Kelima)

Oleh: Hernadi Affandi

Istilah pelanggaran HAM nonberat alias pelanggaran HAM ringan, sedang, atau biasa memang tidak dikenal di dalam peraturan perundang-undangan yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Namun, pengertian tersebut dapat ditarik dari pengertian atau definisi pelanggaran HAM yang ada di dalam UU HAM. Pelanggaran HAM memiliki dimensi yang luas, bukan hanya pelakunya aparat negara tetapi juga perorangan atau kelompok, bukan hanya kesengajaan tetapi juga kelalaian, bukan hanya mencabut tetapi juga membatasi.

Pasal 1 angka 6 UU HAM menjelaskan bahwa “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”

Selama ini terdapat kesan yang salah bahwa pelanggaran HAM selalu ditujukan kepada pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan. Dalam hal ini, pelaku pelanggaran HAM selalu disematkan kepada pemerintah, aparatur negara, atau pejabat publik. Sebagai konsekuensinya, muncul anggapan bahwa pelanggaran HAM merupakan monopoli negara melalui aparatnya baik militer, polisi, maupun birokrasi. Anggapan tersebut tidak seluruhnya benar karena di luar para pelaku itu masih terbuka pelaku lainnya dalam pelanggaran HAM.

Secara umum, pelaku pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara melalui aparatnya dikenal dengan istilah “negara sebagai pelaku”, “aktornya adalah negara”, atau aparatur negara (state actors). Penyematan istilah tersebut ditujukan kepada pelaku pelanggaran yang berasal dari para penyelenggara negara dan pemerintahan. Tindakan yang dilakukan oleh para penyelenggara negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang merupakan pelanggaran HAM yang sering dilakukan oleh para penyelenggara negara dan pemerintahan.

Padahal, pelanggaran HAM juga sangat mungkin dilakukan oleh selain para penyelenggara negara dan pemerintahan. Istilah yang digunakan adalah bukan aparatur negara (nonstate actors) sebagai lawan dari istilah aparatur negara (state actors). Dalam hal ini, pelakunya dapat saja perorangan, kelompok, bahkan korporasi. Artinya, apabila pihak-pihak tersebut melakukan tindakan baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang merupakan pelanggaran HAM.

Persoalannya adalah perhatian banyak pihak hanya ditujukan kepada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara melalui aparaturnya (state actors) tersebut. Sementara, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh bukan aparatur negara (nonstate actors) sangat jarang mendapatkan perhatian. Padahal, pelaku pelanggaran HAM dari manapun asal, posisi, status, atau latar belakangnya semestinya diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, khususnya peraturan perundang-undangan nasional.

Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh siapapun baik oleh aparatur negara atau bukan aparatur negara seharusnya diselesaikan secara adil dan tidak diskriminatif. Pengadilan HAM yang ada saat ini lebih ditujukan kepada pelaku pelanggaran HAM dari pihak negara saja. Bahkan, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparatur negara selalu diidentikkan sebagai pelanggaran HAM berat, sehingga para pelakunya diadili di pengadilan HAM berat.

Padahal, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparatur negara belum tentu merupakan pelanggaran HAM berat. Sebaliknya, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh bukan aparatur negara belum tentu hanya pelanggaran biasa, ringan, sedang, atau nonberat, tetapi dapat saja pelanggaran HAM berat. Namun, kedua kondisi tersebut tidak mudah diproses melalui pengadilan HAM yang ada karena dikhususkan untuk pelanggaran HAM berat dan pelakunya biasanya aparatur negara. Sementara itu, pelaku yang bukan aparatur negara atau bukan pelanggaran HAM berat menjadi luput dari perhatian.

Akibatnya, pelanggaran HAM nonberat yang dilakukan oleh aparatur negara sampai saat ini seakan-akan terabaikan karena belum ada lembaga yang diberikan tugas dan kewenangan untuk memprosesnya. Sebaliknya, kemungkinan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh bukan aparatur negara juga tidak dapat diproses di pengadilan HAM yang ada. Bahkan, pelanggaran HAM berat atau nonberat yang dilakukan oleh bukan aparatur negara belum tersentuh sama sekali karena belum ada pengaturannya dalam hukum positif Indonesia.

Persoalan yang tampak secara kasat mata adalah pelanggaran HAM Ekosob yang belum pernah ada kasusnya yang dibawa dan diproses di dalam pengadilan HAM. Pada umumnya, pelanggaran HAM Ekosob tidak termasuk ke dalam pelanggaran HAM berat, sehingga tidak ada peluang dilakukan proses peradilan terhadap pelanggarnya di pengadilan HAM. Padahal, pelanggaran HAM Ekosob dapat saja berdampak secara meluas, masif, dan dilakukan secara terstruktur oleh bukan aparatur negara.

Secara ideal, seluruh pelanggaran HAM baik yang ringan, sedang, apalagi berat diproses secara hukum agar tercipta keadilan. Sementara itu, proses peradilan akan berjalan jika tersedia lembaganya yaitu pengadilan yang akan mengadili dan menyelesaikan pelanggaran HAM tersebut. Jika selama ini sudah ada pengadilan HAM untuk pelanggaran HAM berat, semestinya tersedia juga pengadilan HAM nonberat yang akan mengadili dan menyelesaikan pelanggaran HAM nonberat alias pelanggaran HAM ringan, sedang, atau biasa. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below