Menggagas Pembentukan Pengadilan HAM Nonberat Di Indonesia (Bagian Ketujuh)

Oleh: Hernadi Affandi

Berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu bahkan sampai saat ini disebabkan baik pihak penyelenggara negara dan pemerintahan maupun masyarakat belum sepenuhnya sadar HAM. Kondisi tersebut bukan saja merugikan terhadap keberadaan HAM itu sendiri, tetapi juga terhadap keberadaan warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Manusia yang nota bene sebagai warga negara menjadi tidak lagi utuh dalam memperoleh dan menikmati segala HAM-nya karena terjadinya pelanggaran HAM. Bahkan, sebagai warga negara seakan kehilangan statusnya sebagai rakyat yang berdaulat atas negaranya.

Pengalaman menunjukkan bahwa pada masa lalu penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM sempat mengalami persoalan karena alasan politis, sosiologis, hukum, ekonomi, dan lain-lain. Para penyelenggara negara dan pemerintahan pada masa lalu sangat kurang memberikan perhatian terhadap HAM. Bahkan, penyelenggara negara dan pemerintahan cenderung melakukan pelanggaran HAM dengan berbagai bentuk dan cara yang dampaknya sebagian masih dirasakan sampai saat ini. Tercatat kasus-kasus pelanggaran HAM baik yang ringan, sedang, atau berat yang belum tuntas sampai saat ini.

Berbagai pelanggaran HAM yang pernah terjadi pada masa lalu baik yang termasuk kategori HAM Sipol maupun HAM Ekosob tidak serta-merta dapat diselesaikan dengan mudah. Bahkan, terkesan pelanggaran HAM itu terus saja berlangsung dan terjadi dalam kehidupan masyarakat karena para pelakunya tidak dapat diproses dan diadili secara tuntas. Kesulitan untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM karena pelakunya berlindung dalam status sebagai aparatur negara. Oleh karena itu, tercipta suasana kurang kondusif dan tidak seimbang dalam pelaksanaan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM pada masa lalu.

Namun demikian, pelanggaran HAM bukan hanya dilakukan oleh pemerintah, aparatur negara, atau pejabat publik yang termasuk state actors, tetapi dilakukan juga oleh sesama warga negara (nonstate actors). Konsekuensinya, pelanggaran HAM bukan hanya terjadi secara vertikal artinya dilakukan oleh penguasa terhadap rakyat atau sebaliknya, tetapi juga secara horizontal artinya dilakukan oleh warga negara terhadap warga negara lainnya. Keadaan itu tentu tidak menguntungkan terhadap keberadaan HAM yang semestinya mendapatkan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) telah menjadi tonggak penting dalam perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia. Materi muatannya bukan saja melengkapi ketentuan UUD 1945 yang memang mengatur HAM agak terbatas, tetapi juga menjadi payung bagi peraturan perundang-undangan di bidang HAM. Dengan kehadiran UU HAM tersebut diharapkan pelaksanaan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM menjadi lebih baik lagi daripada sebelumnya.

Salah satu alasan dibentuknya UU HAM seperti yang dicantumkan di dalam Penjelasan Umum UU HAM adalah “untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus)”. Dalam hal ini, pelanggaran HAM merupakan salah satu bentuk manusia yang bertindak sebagai serigala bagi manusia lainnya.

Pelaku pelanggaran HAM merupakan manusia yang sudah kehilangan sifat dan martabatnya sebagai manusia, sehingga tanpa rasa bersalah melakukan pelanggaran HAM. Keadaan tersebut tidak boleh dibiarkan karena akan mengganggu dan mencederai rasa keadilan manusia yang terlanggar HAM-nya. Dengan kata lain, keadaan itu harus dipulihkan melalui mekanisme hukum baik dengan mengadili dan menghukum para pelaku pelanggaran HAM maupun dengan bentuk lain. Tujuannya adalah agar tercipta keseimbangan kembali rasa keadilan masyarakat yang sempat terganggu disebabkan adanya pelanggaran tersebut.

Salah satu cara untuk menyeimbangkan keadaan tersebut adalah dengan perintah UU HAM untuk membentuk pengadilan HAM. Perintah tersebut kemudian diatur dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU PHAM). Namun demikian, kehadiran PHAM tersebut dirasakan belum cukup memadai karena belum mengakomodasi seluruh pelanggaran HAM. Keberadaan pengadilan HAM tersebut hanya untuk pelanggaran HAM berat saja, sedangkan pelanggaran HAM yang tidak berat tidak dapat diproses dan diadili di pengadilan HAM tersebut.

Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat memang sangat penting dilakukan agar tercipta keadilan khususnya bagi pihak korban atau keluarga korban. Namun, pelanggaran HAM ringan, sedang, atau biasa juga perlu mendapatkan penyelesaian yang adil. Keadilan itu tidak mungkin terwujud apabila tidak ada mekanisme dan lembaga yang dapat menyelesaikan pelanggaran HAM tersebut. Alih-alih tercipta keadilan bagi pihak korban atau keluarganya, justru akan selalu muncul pelanggaran HAM lainnya karena dianggap sepele sebagai pelanggaran HAM ringan, sedang, atau biasa saja.

Penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM seakan terdengar sebagai sesuatu yang sangat klise dan normatif jika tidak mampu diwujudkan dalam tataran praktik. Masih adanya berbagai bentuk pelanggaran HAM baik yang ringan, sedang, apalagi berat menjadi petunjuk bahwa penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan masih jauh dari harapan masyarakat. Padahal, sekecil apapun pelanggaran HAM semestinya dihindarkan, atau jika terlanjur terjadi pelanggaran tersebut semestinya diselesaikan secara adil dan tuntas.

Pembiaran terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi, apalagi pembiaran terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM pada masa yang akan datang, akan mengakibatkan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM menjadi terganggu dan tidak akan tercapai sebagaimana mestinya. Hal itu sama saja artinya dengan melakukan pelanggaran HAM secara tidak langsung. Padahal, pelanggaran HAM dalam berbagai bentuknya baik langsung maupun tidak langsung harus dihindarkan dan dihentikan. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below