Menyoal Fenomena Caleg Gagal Dalam Pileg (Bagian Ketiga)

Oleh: Hernadi Affandi

Menurut UU Pemilu tersebut sebenarnya politik uang sudah dilarang secara tegas dan jelas baik dilakukan dalam Pileg maupun Pilpres. Bahkan, larangan politik uang berlaku juga untuk pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang pelaksanaannya terpisah dari Pileg dan Pilpres.

Artinya, politik uang semestinya dihindarkan oleh para caleg, tim kampanye atau tim sukses, termasuk oleh masyarakat sendiri. Alasannya, secara yuridis semua pihak tersebut sudah diancam dengan hukuman baik pidana penjara maupun denda apabila melakukan politik uang.

Apabila sejak awal larangan itu diindahkan oleh para caleg atau tim sukses mungkin saja tidak akan terjadi di mana para caleg gagal meminta kembali uang atau barangnya. Para caleg atau tim sukses tidak perlu repot-repot melakukan politik uang dengan biaya tinggi tapi tanpa hasil.

Persoalannya adalah pihak-pihak tersebut tidak mengindahkan larangan undang-undang, bahkan ada yang melakukannya secara terang-terangan. Mereka menggunakan pepatah “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”, artinya “undang-undang melarang politik uang jalan terus.”

Sebenarnya kejadian semacam itu bukan hanya terjadi pada Pileg kali ini saja, tetapi sudah berlangsung lama. Persoalannya, para caleg tidak mau belajar dari pengalaman orang lain di masa lalu, tetapi justru melakukan juga sehingga saat ini benar-benar menimpa dirinya sendiri.

Oleh karena itu, kejadian semacam itu semestinya menjadi bahan introspeksi bagi semua pihak baik para caleg, tim kampanye atau tim sukses, maupun masyarakat. Kejadian mengenaskan tersebut harus menjadi bahan evaluasi bagi semua pihak ke depan supaya tidak terulang lagi.

Bagi pihak caleg harus diperhatikan bahwa saat ini masyarakat sudah cerdas, sehingga tidak dapat lagi diiming-imingi sesuatu dalam menentukan pilihannya. Mungkin saja masih ada masyarakat yang mau menerima dan benar-benar memilihnya, tetapi banyak juga yang tidak demikian.

Akibatnya, uang atau barang yang sudah diberikan kepada masyarakat tidak berbanding lurus dengan harapan dan target dari pihak pemberi. Harapan mendapatkan suara atau dipilih oleh masyarakat penerima yang terjadi justru sebaliknya masyarakat tidak memilihnya alias nihil.

Bagi tim kampanye atau tim sukses hal itu juga harus menjadi perhatian karena biasanya merekalah yang menjadi ujung tombak dari para caleg untuk mendekati masyarakat. Ada di antara tim sukses yang benar-benar melaksanakan “tugasnya”, tetapi tidak sedikit pula yang “tidak amanah”.

Dalam praktik, pemberian uang atau barang yang semestinya utuh diterima oleh masyarakat, tetapi banyak juga yang “disunat” oleh tim sukses sendiri. Akibatnya, uang atau barang yang diterima oleh masyarakat tidak secara signifikan “mempengaruhi” hati masyarakat pemilih.

Alih-alih tim kampanye atau tim sukses melakukan tugasnya sebagai pihak yang mendukung dan memenangkan para caleg justru menjadi musuh dalam selimut. Kegagalan para caleg justru disebabkan tim kampanye yang tidak amanah karena menilap sumbangan yang dipercayakan.

Konon dalam setiap Pileg, Pilpres, atau Pilkada justru yang sukses adalah tim sukses atau tim kampanye. Alasan sederhananya, mereka tidak memberikan titipan yang dipercayakan dari para caleg atau paslon seutuhnya, tetapi dipotong atau bahkan tidak dibagikan sama sekali,

Akibatnya, uang atau bantuan yang diberikan kepada masyarakat menjadi kecil atau kurang jika dibandingkan dengan pemberian dari caleg lain. Oleh karena itu, pilihan masyarakat kemudian beralih kepada si pemberi lain karena memberi dalam jumlah yang jauh lebih besar.

Sebaliknya, bagi masyarakat sendiri kejadian tersebut juga harus menjadi bahan pelajaran agar tidak terlalu mudah dibujuk-rayu oleh iming-iming uang atau barang. Apalagi hal itu diberikan menjelang atau pada hari “H” pelaksanaan pemilu bukan jauh-jauh hari sebelumnya.

Pemberian uang atau barang tersebut patut diduga bukan dalam rangka mencari pahala, tetapi semata-mata untuk membeli suara. Apabila memang benar para caleg itu dalam rangka mencari pahala, tentu pelaksanaannya tidak akan dikaitkan dengan Pileg, Pilpres, atau Pilkada. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below