Menyoal Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Undang-Undang

Oleh: Hernadi Affandi

Beberapa waktu terakhir ini terjadi banyak peristiwa yang kurang terbuka dalam pembentukan undang-undang yang dilakukan oleh pemegang fungsi legislasi di Indonesia, khususnya DPR dan Presiden. Pembentukan undang-undang tampaknya kurang melibatkan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan rakyat.

Keterlibatan masyarakat dalam pembentukan undang-undang dirasakan sangat dibatasi dengan berbagai cara baik langsung maupun tidak langsung. Masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tidak memiliki akses dalam proses pembentukan undang-undang, sehingga undang-undang yang dihasilkan oleh lembaga tersebut dinilai kurang partisipatif.

Akibatnya, masyarakat tidak jarang menolak rancangan undang-undang (RUU) yang sedang dibahas oleh DPR. Bahkan, RUU tersebut juga ditolak setelah ada persetujuan bersama bahkan setelah pengesahan. Dengan kata lain, ada penolakan masyarakat terhadap semua tahapan pembentukan undang-undang mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan.

Keadaan itu tentu menimbulkan pertanyaan besar dalam konteks pembentukan undang-undang yang partisipatif. Keadaan itu disinyalir karena adanya kekurangpedulian lembaga pembentuk undang-undang dalam melibatkan masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang tersebut. Sebagai konsekuensinya, masyarakat merasa kurang terwakili aspirasinya.

Persoalan aspirasi masyarakat semestinya jangan dianggap remeh karena rakyat adalah pemilik kedaulatan di negeri ini. Artinya, keberadaan para wakil rakyat di lembaga legislatif untuk dan atas nama rakyat yang diwakilinya. Hal ini sebagai konsekuensi wakil rakyat hanya menjalankan kedaulatan rakyat. Sesuai dengan namanya, wakil rakyat hanya mewakili rakyat dalam penyelenggaraan negara, termasuk di dalamnya pembentukan undang-undang.

Kedudukan wakil rakyat dalam pembentukan undang-undang tidak dapat dipisahkan dari rakyat yang diwakilinya. Keberadaan wakil rakyat semata-mata hanya sebagai kepanjangan tangan rakyat bukan kepanjangan tangan partai politik. Dalam hal ini, para legislator harus memposisikan diri sebagai penampung dan penyalur aspirasi rakyat bukan hanya kepentingan partai politiknya.

Kemauan dan aspirasi rakyat seharusnya menjadi fokus perhatian para wakil rakyat bukan semata-mata memaksakan kehendak dan aspirasi wakil rakyat itu sendiri atau partai politiknya. Hal ini penting diingat kembali agar pembentukan undang-undang berjalan sesuai dengan keinginan rakyat. Dalam hal ini, keterlibatan rakyat secara langsung atau tidak langsung merupakan aspek terpenting dalam pembentukan undang-undang.

Keterlibatan rakyat dalam pembentukan undang-undang bukan saja merupakan hakikat yang dijamin di dalam negara demokrasi. Lebih jauh, keterlibatan rakyat juga penting agar undang-undang yang dihasilkan akan diterima oleh rakyat karena merupakan kebutuhan rakyat atau sesuai dengan aspirasi rakyat. Proses pembentukan undang-undang yang melibatkan rakyat sejak awal akan memudahkan undang-undang tersebut bakal diterima oleh rakyat.

Partisipasi Masyarakat Kunci Pembentukan Undang-Undang

Secara normatif, partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang sudah ditegaskan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Oleh karena itu, partisipasi masyarakat semestinya dibuka selebar-lebarnya dalam semua tahapan pembentukan undang-undang.

Ketentuan tentang partisipasi masyarakat diatur secara khusus dalam Bab XI UU P3 dengan judul Partisipasi Masyarakat di mana bab tersebut berisi satu pasal, yaitu Pasal 96 dengan empat ayat. Selengkapnya, Pasal 96 UU P3 berbunyi sebagai berikut:

(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Peraturan perundang-undangan.

(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:

  1. rapat dengar pendapat umum;
  2. kunjungan kerja;
  3. sosialisasi; dan/atau
  4. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan perundang-undangan.

(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara risan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Selanjutnya, Penjelasan Pasal 96 ayat (3) tersebut menjelaskan sebagai berikut: “Termasuk dalam kelompok orang antara lain, kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 96 tersebut tampak jelas bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan undang-undang yang sedang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Dengan demikian, pembentuk undang-undang semestinya membuka ruang dan kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan masukan baik secara lisan maupun tertulis.

Keharusan adanya pelibatan rakyat dalam semua tahapan pembentukan undang-undang juga diatur di dalam Pasal 88 UU P3 yang mengatur tentang tahapan penyebarluasan. Tujuannya adalah agar masyarakat mendapatkan informasi atas proses pembentukan undang-undang tersebut atau sebaliknya masyarakat memiliki kesempatan untuk memberikan masukan. Hal itu juga berlaku untuk para pemangku kepentingan (stakeholders).

Selengkapnya, Pasal 88 UU P3 tersebut berbunyi sebagai berikut:

(1) Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan pemerintah sejak penyusunan prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga pengundangan Undang_Undang.

(2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.

Sementara itu, penjelasan Pasal 88 ayat (1) tersebut berbunyi sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan “penyebarluasan” adalah kegiatan menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai Prolegnas, Rancangan Undang-undang yang sedang disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap Undang-Undang tersebut atau memahami Undang-Undang yang telah diundangkan. Penyebarluasan Peraturan perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media erektronik dan/atau media cetak.

Ketentuan tersebut sebenarnya sudah jelas diatur di dalam hukum positif yang semestinya dilaksanakan oleh para pembentuk undang-undang, baik DPR maupun Presiden. Para pembentuk undang-undang semestinya tidak menutup akses keterlibatan masyarakat dalam seluruh tahapan pembentukan undang-undang. Jika DPR dan Presiden menutup akses masyarakat artinya kedua lembaga tersebut mengingkari ketentuan undang-undang.

Apabila dikembalikan kepada sumpah jabatan kedua lembaga tersebut salah satunya adalah “akan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”. Artinya, termasuk pula UU P3 yang sudah mengamanatkan pelibatan masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Dengan kata lain, kedua lembaga tersebut tidak boleh menolak partisipasi rakyat.

Penolakan keterlibatan masyarakat dalam pembentukan undang-undang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat dianggap merupakan pelanggaran terhadap sumpah jabatan baik sebagai anggota DPR maupun Presiden. Pelanggaran terhadap sumpah jabatan semestinya menjadi pintu masuk untuk proses pemberhentian dari jabatan tersebut.

Dengan demikian, baik anggota DPR maupun Presiden jangan main-main dengan partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Hal itu sudah diatur di dalam UU P3 yang harus dijalankan juga oleh DPR dan Presiden selurus-lurusnya. Jika kedua lembaga tersebut membatasi akses keterlibatan masyarakat dalam pembentukan undang-undang artinya kedua lembaga itu tidak menjalankan undang-undang dengan selurus-lurusnya.

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below