Menyoal Pemberitaan Pemilihan Kepala Daerah

Oleh: Hernadi Affandi

Hingar-bingar pemilihan kepala daerah (pilkada) baik pasangan gubernur, bupati, maupun walikota beritanya kurang begitu santer terdengar oleh masyarakat. Padahal, beberapa hari terakhir ini merupakan masa-masa kampanye dari para pasangan calon yang sedang ikut kontestasi dalam pilkada di masing-masing daerahnya. Biasanya, masa kampanye merupakan kesempatan bagi para calon untuk memperkenalkan diri, visi, misi, program kerja, dan lain-lain. Sebaliknya, bagi rakyat masa kampanye juga penting untuk menilai dan menimbang calon pilihannya yang akan ditentukan pada saat pencoblosan.

Suasana penyebaran COVID-19 yang masih marak dan masif terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia dianggap menjadi penyebab hajatan demokrasi lokal tidak terlalu diekspos oleh pers. Berita-berita di media massa baik cetak, elektronik, maupun online masih didominasi oleh pemberitaan seputar COVID-19 ketimbang berita pilkada. Kehadiran berita pilkada hanya sesekali saja muncul ke permukaan, itu pun ketika ada pasangan calon yang ditengarai melanggar protokol kesehatan. Artinya, fokus berita itu masih seputar COVID-19, sedangkan berita tentang pilkadanya sendiri hanya tambahan saja.

Pemberitaan Pilkada Kehilangan Daya Tarik

Berita seputar hajatan demokrasi di tingkat lokal tersebut seakan-akan sudah tidak ada daya tariknya di mata pers, sehingga tidak lagi menjadi fokus pemberitaan. Padahal, pada masa lalu berita pilkada merupakan primadona pers untuk dibagikan kepada masyarakat. Namun, saat ini berita terkait dengan pilkada bukan lagi sebagai pengisi utama headline seperti di masa lalu. Situasi dan kondisi penyebaran COVID-19 bukan saja mengalahkan pamor hajatan demokrasi lokal tersebut, tetapi juga seperti ada unsur “kesengajaan” untuk tidak memberitakannya kepada publik secara proporsional.

Bahkan, pemberitaan seputar pilkada di media massa baik cetak, elektronik, maupun online dalam dua minggu terakhir ini kalah menarik dengan berita lain. Berita seputar demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja yang belum lama ini disetujui bersama oleh DPR dengan Pemerintah justru lebih menarik untuk diberitakan oleh hampir semua media main stream saat ini. Hampir semua media massa baik TV swasta maupun pemerintah, koran, radio, portal berita online ramai-ramai memberitakan peristiwa tersebut.

Sebagai akibatnya, pemberitaan terkait dengan demo tersebut justru mendominasi hampir seluruh pemberitaan media massa daripada berita terkait dengan pilkada. Kehebohan dunia pers semakin bertambah dengan memberitakan adanya pihak yang melakukan demo dari kelompok tertentu yang dianggap “berseberangan” dengan pemerintah. Berita itu semakin heboh ketika ada beberapa tokohnya yang ditangkap oleh polisi karena dianggap menyebarkan berita bohong (hoaks) seputar RUU Cipta Kerja. Akibatnya, berita itu semakin menenggelamkan berita tentang pilkada, alias semakin terpinggirkan untuk diberitakan kepada publik.

Berbagai peristiwa yang terjadi di tanah air tentu saja perlu dan penting diberitakan kepada masyarakat agar masyarakat juga tahu tentang semua perkembangan di tanah airnya. Namun, pemberitaan secara berimbang dan jujur merupakan keharusan bagi kalangan pers. Ada tanggung jawab moral pihak pers untuk menyampaikan informasi atau berita tanpa harus ada pembatasan materi yang akan diberitakan kepada publik. Artinya, berita atau informasi tersebut juga perlu disampaikan kepada masyarakat, tetapi berita seperti pilkada juga jangan luput dari pemberitaan media massa cetak, elektronik, atau online.

Hal itu penting dalam rangka mengedukasi masyarakat atas semua keadaan negara dan masyarakatnya, sehingga muncul kepedulian dari masyarakat. Artinya, masyarakat jangan sampai “buta” informasi atas keadaan negara dan masyarakat yang sesungguhnya karena media massa enggan memberitakannya secara proporsional. Dengan demikian, tidak ada yang salah dengan semua pemberitaan baik yang menyangkut COVID-19, demo buruh atas RUU Cipta Kerja, penangkapan para demonstran, dan lain-lain.

Namun, pihak pers juga jangan melupakan pemberitaan terkait dengan hajatan demokrasi lokal yang sedang berlangsung saat ini. Kesan yang muncul adalah bahwa pemberitaan terkait dengan pilkada tersebut seakan-akan tidak ada geregetnya, sehingga pers enggan memberitakan secara proporsional hajatan di tingkat lokal tersebut. Bahkan, ada kesan lebih ekstrem bahwa pemberitaan tentang pilkada sengaja dijauhkan dari pantauan publik. Akhirnya, publik juga tidak terlalu hapal dan mengenal siapa saja para calon kepala daerah dan wakilnya yang ikut kontestasi dalam pilkada di daerahnya.

Padahal, pemberitaan tentang pilkada juga perlu sebagai bentuk edukasi masyarakat yang akan memilih pemimpinnya. Setidaknya, masyarakat perlu mengetahui figur para calon pemimpin di daerahnya masing-masing. Apalagi kampanye saat ini sangat dibatasi baik media, alat, waktu, maupun pesertanya. Hal itu semakin meminggirkan kesempatan publik untuk mengetahui para calon pemimpinnya. Dalam hal ini, hak masyarakat untuk mengetahui dan mengakses informasi terkait dengan proses pilkada menjadi terhambat bahkan terkurangi.

Pemberitaan Proporsional Bagi Masyarakat

Pengetahuan tentang para calon dalam suatu pilkada tentu amat penting bagi masyarakat selaku pemilih karena mereka yang akan menjadi penentunya. Masyarakat jangan sampai hanya mengetahui dan mengenal para calon karena popularitasnya semata-mata. Bahkan, masyarakat juga tidak cukup hanya mengetahui janji-janji para calon yang ditawarkan dalam kampanye. Justru, masyarakat juga perlu mengetahui rekam jejak, prestasi, bahkan sisi positif  dan negatif dari para calon pemimpinnya.

Semua itu penting diketahui oleh publik sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan pilihannya pada hari pencoblosan kelak pada tanggal 9 Desember 2020. Masyarakat perlu memperoleh informasi yang seluas-luasnya dari semua calon yang ikut dalam kontestasi pilkada di daerahnya. Hal itu penting agar masyarakat jangan terulang kembali seakan-akan membeli kucing dalam karung karena keterbatasan informasi atas para calon yang ikut dalam pilkada. Selain itu, para calon juga mempunyai kesempatan yang sama untuk diketahui dan dikenali oleh publik yang akan menjadi pemilihnya.

Kesempatan yang terbatas dari para calon untuk melakukan kampanye karena situasi COVID-19 atau faktor lain dapat saja akan menguntungkan pihak tertentu. Misalnya, hal itu akan menjadi keuntungan bagi para calon yang kebetulan berposisi sebagai pihak yang sedang menjabat (incumbent). Pemberitaan tentang incumbent biasanya jauh lebih banyak dan besar porsinya dibandingkan dengan para calon lainnya. Akibatnya, tidak mengherankan jika incumbent selalu memiliki panggung dalam seluruh aktivitasnya karena apapun kegiatannya akan selalu menjadi bahan sorotan media massa.

Bahkan, situasi dan kondisi penyebaran COVID-19 justru menjadi lahan tersendiri bagi incumbent untuk menarik simpati massa. Kesempatan itu banyak digunakan atas nama sosialisasi pemberantasan COVID-19, pembagian alat pelindung diri, pembagian makser, pembagian sembako, dan lain-lain. Padahal, kegiatan seperti itu secara tidak langsung menjadi ajang kampanye terselubung. Akibatnya, sulit dibedakan mana posisi yang bersangkutan sebagai incumbent yang sedang menjalankan tugas kepala daerah atau wakil kepala daerah, dan mana sebagai calon yang sedang berkontestasi di dalam pilkada.

Kesempatan seperti itu tentu saja tidak dimiliki oleh para calon lain yang kebetulan bukan incumbent. Bahkan, ada kalanya para calon itu sangat sulit untuk mendapatkan kesempatan, meskipun hanya sekedar berbagi perlengkapan COVID-19 atau bagi-bagi masker dan sejenisnya seperti yang dilakukan oleh incumbent. Keadaan itu jika dibiarkan tentu akan dirasakan tidak adil bagi pihak tertentu karena porsi dan kesempatannya berbeda atau dibedakan karena alasan yang satu incumbent, sedangkan yang lainnya bukan incumbent.

Keuntungan lain dari incumbent biasanya diperoleh karena mereka sudah punya “media tetap” untuk memperkenalkan diri meskipun bukan dalam masa kampanye. Poster-poster atau foto-foto kepala daerah dan wakil kepala daerah biasanya dipasang di perkantoran, tempat umum, fasilitas publik, bahkan di mal-mal atau di sepanjang jalan. Kesempatan itu tentu akan menjadi keuntungan bagi para kepala daerah atau wakil kepala daerah yang kemudian maju kembali sebagai peserta dalam pilkada.

Perbedaan kesempatan dan perlakuan dalam pemberitaan atau perkenalan para calon kepada masyarakat tentu tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Dalam hal ini, pihak yang berkompeten juga perlu melakukan tindakan yang jelas dan terukur agar suasana kompetisi dalam pilkada tersebut berjalan secara adil dan proporsional. Semua pihak termasuk media massa, penyelenggara pilkada, dan pengawas pilkada juga perlu jeli dalam melihat dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya disparitas perlakuan terhadap para kandidat yang sedang mengikuti kontestasi di dalam pilkada.

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below