Menyoal Pemekaran Daerah Di Indonesia

Oleh: Hernadi Affandi

Gubernur Jawa Barat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat telah menyetujui bersama rencana pembentukan tiga calon daerah persiapan otonom baru (CDPOB) di Provinsi Jawa Barat pada tanggal 4 Desember 2020. Ketiga daerah yang direncanakan akan menjadi CDPOB tersebut adalah Kabupaten Sukabumi Utara, Kabupaten Garut Selatan, dan Kabupaten Bogor Barat. Ketiga CDPOB tersebut semuanya menggunakan arah mata angin untuk membedakan dari nama daerah induknya.

Penulis sering memberikan catatan kepada daerah yang akan menjadi CDPOB atau daerah otonom baru (DOB) yang “hanya” menggunakan arah mata angin untuk membedakan dari nama daerah induknya. Catatan tersebut lebih didasarkan kepada pertimbangan praktis semata-mata bukan didasarkan kepada pertimbangan politis, yuridis, atau filosofis. Pengalaman praktis, Penulis pernah menemukan daerah yang mengalami kesulitan menentukan dasar yang akan digunakan dalam menetapkan hari jadi daerah itu.

Akibat tidak memiliki sejarah tersendiri, akhirnya daerah itu hanya menjadikan tanggal disahkan Undang-Undang Pembentukannya sebagai hari lahir daerah tersebut. Padahal, jika menggunakan nama yang berbeda dengan daerah induknya mungkin saja daerah itu memiliki sejarah tertentu yang dapat digali dan dijadikan titimangsa kelahiran daerah itu. Hal itu sebagai catatan saja karena ke depan persoalan itu mungkin juga dialami oleh ketiga CDPOB tersebut.

Rencana penetapan CDPOB tentu sudah dilakukan pengkajian yang mendalam dari berbagai aspek termasuk penamaan, urgensi, alasan, syarat, dan sebagainya. Namun, menurut hemat Penulis terdapat beberapa hal yang masih perlu diperhatikan terkait dengan CDPOB baik di Jawa Barat maupun daerah lainnya di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penulis mengelompokkan persoalan tersebut ke dalam dua hal, yaitu aspek penamaan dan persoalan umum dalam pemekaran daerah.

Aspek Penamaan CDPOB

Penulis melihat bahwa pemberian nama CDPOB hanya dengan menambahkan arah mata angin kepada nama daerah induk setidaknya memiliki lima persoalan.

Pertama, terdapat kesan antara CDPOB dengan daerah induk seakan-akan masih memiliki hubungan, bahkan masih merupakan bagian dari daerah induknya.

Kedua, terdapat kesan ke depannya akan menambah lagi CDPOB dengan menambahkan arah mata angin yang belum ada, sehingga menjadi Barat, Timur, Utara, Selatan, dan Pusat.

Ketiga, terdapat kesan pembentuk CDPOB tersebut tidak kreatif karena hanya menambahkan arah mata angin di belakang nama daerah induknya.

Keempat, terdapat kesan tidak ada nama lain dari wilayah CDPOB yang dapat dinaikkan statusnya menjadi nama baru untuk jadi nama DOB.

Kelima, terdapat kesan membingungkan bagi orang luar yang tidak tahu batas wilayah CDPOB dengan daerah induknya karena wilayahnya tidak sama persis dengan posisi arah mata angin tersebut.

Persoalan Umum Dalam Pemekaran Daerah

Selain terkait dengan persoalan di atas, pembentukan CDPOB juga masih menyisakan masalah lain secara umum bukan hanya untuk CDPOB di atas. Penulis menginventarisasi setidaknya terdapat lima persoalan yang perlu mendapatkan perhatian dalam pembentukan CDPOB. Pertama, pemekaran daerah indikasi kegagalan Kepala Daerah. Kedua, pemekaran daerah modus pencarian jabatan. Ketiga, pemekaran daerah belum jaminan kesejahteraan terwujud. Keempat, pemekaran daerah sering mengatasnamakan aspirasi rakyat. Kelima, pemekaran daerah perlu pembanding hasil pemekaran daerah lainnya.

Pertama, Pemekaran Daerah Indikasi Kegagalan Kepala Daerah

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sudah menegaskan bahwa pemerintah daerah menyelenggarakan pemerintahan daerah dengan asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Pemda tersebut dijelaskan bahwa “Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat.”

Berdasarkan ketentuan tersebut tugas untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat berada pada kepala daerah dan didukung oleh DPRD. Dengan demikian, jika suatu masyarakat di suatu daerah belum sejahtera persoalan sebenarnya ada pada kepala daerah dan DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan daerah tersebut. Dengan demikian, jika masyarakat belum sejahtera yang harus bertanggung jawab adalah kepala daerah dan DPRD tersebut.

Namun, keanehan terjadi justeru jika ada daerah yang masyarakatnya belum sejahtera malah dilakukan pemekaran daerah. Hal itu menjadi sangat aneh bahkan terbilang tidak logis, jika suatu daerah yang belum maju, belum sejahtera, atau masih tertinggal jalan keluarnya justeru harus dimekarkan. Pertanyaan di sini adalah di mana tanggung jawab kepala daerah dan DPRD-nya? Oleh karena itu, jika ada masyarakat yang belum maju dan sejahtera di suatu daerah merupakan indikasi bahwa kepala daerah tersebut sudah gagal.

Kepala daerah dan wakil kepala daerah biasanya dalam kampanye sering mengumbar janji akan mensejahterakan rakyat di daerahnya. Pernahkah hal ini dilakukan pembuktian di akhir masa jabatan kepala daerah (dan wakil kepala daerah) tersebut atas janji-janjinya. Misalnya, di akhir masa jabatannya diuji hasil-hasil yang sudah diwujudkan dan dirasakan oleh rakyat di daerahnya. Persoalannya, hal itu hampir tidak pernah ada, meskipun ada laporan pertanggungjawaban, faktanya tidak ada keterangan yang jelas atas keberhasilan atau kegagalan dari kepala daerah dalam memimpin daerahnya.

Anehnya, kepala daerah seperti itu bisa mencalonkan kembali dan bahkan terpilih kembali untuk periode ke dua. Namun, pada periode kedua juga tidak ada mekanisme “pengujian” keberhasilan yang diwujudkan oleh kepala daerah tersebut. Dengan kata lain, daerah itu tidak maju seluruhnya, sehingga satu-satunya cara agar maju dan sejahtera daerah tersebut harus dimekarkan. Dalam hal ini, tidak ada alasan rasionalitas sama sekali jika daerah yang belum maju justeru harus dimekarkan tanpa meminta pertanggungjawaban kepala daerah yang sudah memimpin daerah tersebut sekian lama.

Kedua, Pemekaran Daerah Modus Pencarian Jabatan

Persoalan lain yang perlu digarisbawahi adalah pemekaran daerah biasa dijadikan ajang pembentukan “lowongan jabatan” atau “lowongan kerja”. Banyak para inisiator dalam pemekaran DOB yang kemudian justeru menjadi kepala daerah, wakil kepala daerah, anggota DPRD, dan lain-lain. Dengan kata lain, persoalan pemekaran bukan hanya semata-mata untuk tujuan memajukan daerah atau mensejahterakan masyarakat, tetapi juga untuk memajukan diri sendiri dengan jabatan-jabatan di DOB tersebut.

Setiap orang memang memiliki hak untuk maju, mendapatkan jabatan, memperoleh pekerjaan, dan lain-lain karena sudah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, jika pemekaran daerah karena adanya kepentingan pribadi yang terselubung dengan mengatasnamakan rakyat agar maju, sejahtera, dan lain-lain, tentu hal itu tidak dapat dibenarkan secara moral. Kepentingan rakyat di situ hanya dijadikan modus dan alasan agar tujuan pribadinya tercapai untuk memperoleh jabatan.

Jika hipotesis tersebut terbukti artinya pemekaran daerah tidak murni untuk dan atas nama aspirasi masyarakat, tetapi justeru untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Alih-alih pemekaran daerah diharapkan akan meningkatkan kejahteraan masyarakat justeru menjadi alasan meningkatkan kesejahteraannya sendiri atau kelompoknya. Hal itu tentu akan mencederai kepercayaan rakyat yang sudah menitipkan harapan dan aspirasinya kepada panitia atau pihak yang terlibat dalam pemekaran daerahnya.

Ketiga, Pemekaran Daerah Sering Mengatasnamakan Aspirasi Rakyat

Sepert sudah dijelaskan di atas bahwa pemekaran daerah sering mengatasnamakan rakyat karena daerah itu dianggap belum mampu membangun dan mensejahterakan rakyat yang ada di daerah itu. Terdapat kesan bahwa rakyat di daerah itu tidak diperhatikan atau dianaktirikan oleh kepala daerahnya sendiri. Sebagai akibatnya, daerah itu menjadi terbelakang, atau tertinggal dari daerah lainnya, padahal merupakan satu daerah yang sama dan dipimpin oleh orang yang sama. Akibat hal itu, rakyat di daerah itu mengajukan aspirasi untuk memisahkan diri dari daerah induk.

Keinginan rakyat untuk memisahkan diri sering dijadikan alasan meskipun belum pernah ada permintaan pendapat kepada rakyat secara keseluruhan. Misalnya, dilakukan referendum, penentuan pendapat rakyat, atau apapun namanya sebagai bentuk pelibatan rakyat dalam pemekaran daerahnya. Dalam hal ini, mestinya seluruh rakyat di daerah kabupaten, kota, atau provinsi itu harus dimintakan pendapatnya tentang rencana pemekaran daerahnya. Jika hal itu sudah dilakukan secara transparan dan akuntabel baru dapat dikatakan bahwa pemekaran daerah itu merupakan aspirasi rakyat.

Namun, hal itu belum pernah ada atau belum ada daerah yang melakukannya. Aspirasi rakyat sering dijadikan alasan sebagai kambing hitam pemekaran daerah, tetapi sesungguhnya hanya merupakan kepentingan segelintir orang. Kenyataan tersebut muncul di berbagai daerah yang menginginkan pemekaran daerah dan didukung oleh pihak terkait, seperti DPRD, kepala daerah, “tokoh masyarakat”, “tokoh pemuda”, dan lain-lain. Penulis sengaja memakai “tanda petik” karena mereka yang disebut tokoh tersebut juga tidak diketahui alasan dan kapasitasnya dianggap sebagai tokoh. Tetapi, untuk kepentingan tertentu pihak tersebut dianggap tokoh sesuai dengan kebutuhan.

Keempat, Pemekaran Daerah Belum Jaminan Kesejahteraan Terwujud

Alasan utama pemekaran daerah adalah untuk mensejahterakan rakyat di daerah yang akan dimekarkan. Persoalannya adalah apakah tujuan tersebut terwujud atau tidak belum ada penelitian dan pengkajian yang mendalam. Penulis pernah melakukan penelitian kecil-kecilan terhadap daerah hasil pemekaran dalam lima tahun pertama. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa impian untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat tidak dapat diwujudkan dalam rentang waktu lima tahun saja. Artinya, belum ada perbedaan nyata antara ketika masih bergabung dengan daerah induk dengan setelah jadi DOB.

Persoalan kemajuan dan kesejahteraan tentu bukan hanya dipengaruhi oleh daerah itu terpisah atau tetap bergabung dengan daerah induk. Banyak aspek yang harus dipenuhi baik yang sifatnya fisik maupun nonfisik. Misalnya, ketersediaan sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi, dan sebagainya. Meskipun daerah itu sudah dibentuk menjadi DOB yang berdiri sendiri belum tentu akan maju secara tiba-tiba. Kenyataan itu sudah dibuktikan oleh daerah-daerah yang sudah dibentuk dalam sepuluh tahun terakhir. Oleh karena itu, kesejahteraan dan kemajuan rakyat di daerah tersebut tidak bergantung sepenuhnya kepada daerah itu harus berdiri sendiri atau tetap bergabung dengan daerah induk.

Catatan penting lainnya adalah pemekaran daerah jangan sampai menjadi bom waktu persoalan di kemudian hari bagi CDPOB atau DOB. Persoalan itu akan terjadi ketika sebuah CDPOB yang menjadi DOB ternyata tidak mampu mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan daerah tersebut seperti halnya ketika dibentuk. Dengan kata lain, keinginan untuk mensejahterakan masyarakat di daerah itu mungkin saja tidak kunjung terwujud karena dimulai dengan kesalahan langkah yang membawa akibat dan hasil negatif.

Kelima, Pemekaran Daerah Perlu Pembanding Hasil Pemekaran Daerah Lainnya

Terkait dengan rencana pemekaran daerah mestinya dilakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap daerah-daerah yang sudah terlebih dahulu dilakukan pemekaran. Hal ini penting sebagai bahan perbandingan terhadap keberhasilan atau kegagalan yang dihadapi oleh daerah-daerah yang terlebih dulu dimekarkan. Dalam hal ini, daerah yang sudah dimekarkan di masa lalu penting untuk dijadikan sebagai pembanding untuk daerah yang akan dimekarkan. Jangan sampai hasil pemekaran di daerah-daerah lainnya yang sudah terlebih dahulu tidak dijadikan bahan pembanding dan penilaian.

Undang-Undang Pemda memang secara normatif sudah mengatur tentang keharusan adanya evaluasi terhadap DOB. Namun, keberadaan DOB itu apakah dijadikan pembanding atau tidak tampaknya belum dilakukan secara terbuka. Semestinya, pengalaman daerah yang terlebih dahulu dimekarkan itu menjadi pedoman dan pegangan apakah daerah yang ingin memekarkan diri itu layak atau tidak, sehingga dapat belajar dari pengalaman daerah lain. Jika perlu ada semacam studi banding yang objektif untuk melihat kemampuan, kekurangan, potensi, proyeksi, dan aspek lain sebelum dan setelah dimekarkan.

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below