Menyoal Politik Uang Dalam Pemilu di Indonesia (Bagian Pertama)

Oleh: Hernadi Affandi

Pemilihan umum (Pemilu) baik Pemilu anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD Kabupaten/Kota), Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, maupun Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah, yaitu Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemilu Bupati dan Wakil Bupati, dan Pemilu Walikota dan Wakil Walikota selalu memiliki daya tarik tersendiri.

Kehadiran Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat dalam menyalurkan aspirasi dan pilihannya dirasakan sebagai sesuatu yang ditunggu-tunggu dalam setiap lima tahun sekali. Meskipun dalam beberapa Pemilu anggota legislatif dan kepala daerah terakhir diadakan secara serentak, kehadirannya tetap menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu.

Demikian pula halnya, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang akan dilaksanakan secara serentak dengan Pemilu anggota legislatif pada 14 Februari 2024 yang akan datang tetap ditunggu-tunggu. Bahkan, pelaksanaan Pemilu tersebut jauh lebih dinantikan daripada sebelumnya karena akan merupakan pengalaman baru di mana Pemilu pejabat elit dilaksanakana secara bersamaan.

Pemilu sebagai wujud negara demokrasi bukan saja dianggap penting, tetapi juga merupakan kondisi yang mutlak harus ada (conditio sine qua non). Artinya, negara demokrasi tanpa Pemilu ibarat mobil tanpa bahan bakar (baik fosil, gas, atau listrik), sehingga mobil tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya bahkan hanya jadi barang rongsokan yang tidak ada gunanya.

Akibat demikian pentingnya Pemilu bagi negara demokrasi, pelaksanaannya diatur sedemikian rupa supaya dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan rambu-rambu. Berbagai peraturan perundang-undangan dikeluarkan sebagai pedoman bagi semua pihak yang terlibat dalam Pemilu baik partai politik, calon, penyelenggara, tim pendukung, maupun rakyat secara keseluruhan.

Keberadaan peraturan perundang-undangan yang berisi keharusan dan larangan tersebut semestinya menjadi pedoman yang diikuti oleh semua pihak. Ketaatan kepada aturan main akan menghasilkan Pemilu yang berkualitas baik dan menghasilkan para calon pemimpin yang juga berkualitas dan memenuhi harapan rakyat.

Namun, faktanya Pemilu yang pernah dilalui tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan atau ketentuan peraturan perundang-undangan. Ada saja keadaan atau peristiwa yang dianggap mengurangi makna Pemilu itu sendiri yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil). Secara sengaja atau tidak terdapat pihak-pihak yang mencoba mengurangi kesakralan Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat.

Adanya kemajuan dalam penyelenggaraan Pemilu pada era reformasi tidak dapat dibantah karena sudah dirasakan oleh hampir semua kalangan masyarakat. Keterbukaan di alam demokrasi dirasakan sebagai sesuatu yang amat langka di era sebelumnya. Ketersediaan partai politik (Parpol) dalam Pemilu cukup banyak, sehingga rakyat dapat memilih parpol atau calon dari parpol mana pun tanpa merasa dibatasi.

Penyelenggaraan Pemilu juga dirasakan semakin berkualitas setidaknya dilihat dari para penyelenggaranya yang dianggap independen dan terlepas dari pengaruh pihak penguasa. Meskipun di sana-sini masih ada tudingan negatif terhadap independensi penyelenggara Pemilu, hal itu konon masih dianggap lebih baik daripada sebelumnya.

Bahkan, saat ini pengawas Pemilu juga sudah menjadi badan yang independen sebagai wasit yang akan mengawasi jalannya Pemilu agar semakin berkualitas. Dalam hal ini, secara ideal penyelenggaraan Pemilu tidak mungkin akan terjadi kecurangan atau penyelahgunaan yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu termasuk para pesertanya baik Parpol maupun para calonnya.

Namun demikian, persoalan juga justru dirasakan setelah Indonesia memasuki era reformasi yang dianggap babak awal memasuki kehidupan ketatanegaraan yang lebih baik. Dalam hal ini, secara sadar atau tidak justru terjadi kemunduran dalam pelaksanaan Pemilu setelah memasuki era reformasi yang sebelumnya tidak pernah ada atau setidaknya kurang tampak ke permukaan.

Sejak era reformasi justru setiap menjelang Pemilu selalu muncul persoalan terkait dengan adanya dugaan politik uang (money politics) yang dilakukan oleh para calon, pelaksana, atau tim sukses. Persoalan tersebut selalu muncul ke permukaan meskipun sangat sulit untuk dibuktikan secara hukum karena berbagai alasan baik dalam pembuktian, pengakuan, kesaksian, dan lain-lain. (Bersambung)

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below