Menyoal Politik Uang Dalam Pemilu di Indonesia (Bagian Kedua)

Oleh: Hernadi Affandi

Secara empiris, fenomena praktik politik uang dalam Pemilu justru marak terjadi setelah Indonesia memasuki era reformasi. Hal itu antara lain disebabkan oleh mekanisme pengisian jabatan politik diisi melalui Pemilu langsung. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota setelah era reformasi, tepatnya sejak 2004, diisi melalui Pemilu secara langsung.

Artinya, sejak era reformasi rakyat menjadi pihak yang paling dominan dalam pemilihan berbagai jabatan politik tersebut. Akibatnya, rakyat menjadi primadona bagi para calon yang akan mengikuti kontestasi dalam Pemilu tersebut, sehingga diperebutkan suaranya dengan jalan apa pun termasuk “membeli” suaranya. Oleh karena itu, salah satu kelemahan mekanisme Pemilu langsung adalah rentan dengan adanya pembelian suara rakyat melalui politik uang.

Sebelumnya, seluruh jabatan tersebut dipilih oleh “lembaga pemilih” sesuai dengan kewenangannya, yaitu MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPRD Tingkat I Provinsi untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, DPRD Tingkat II Kabupaten untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati, serta DPRD Tingkat II Kota Madya untuk memilih Wali Kota Madya dan Wakil Wali Kota Madya (istilah yang digunakan pada saat itu).

Sementara itu, pengisian anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten, dan DPRD Kota Madya pada waktu itu sudah dilakukan melalui Pemilu di samping melalui pengangkatan. Pada waktu itu, jumlah peserta Pemilu hanya tiga yang terdiri dari dua parpol dan satu golongan. Kedua Parpol tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), serta satu Golongan Karya (Golkar).

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan oleh MPR sejak tahun 1973 sampai dengan 1999, pada waktu itu tidak terdengar adanya politik uang. Apalagi ketika masa era Orde Baru (Orba) yang selalu menghasilkan Presiden orang yang sama tidak ada isu yang merebak adanya politik uang di antara para anggota MPR. Hal itu setidaknya tidak terdengar ke luar oleh masyarakat luas kalau pun ada permainan politik uang atau sejenisnya.

Kemungkinan adanya politik uang di era Orba paling banter di DPRD Tingkat I Provinsi dalam memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, DPRD Tingkat II Kabupaten dalam memilih Bupati dan Wakil Bupati, serta DPRD Tingkat II Kota Madya dalam memilih Wali Kota Madya dan Wakil Walikota Madya. Namun, jika  hal itu pun ada dan terjadi di lembaga perwakilan rakyat daerah tersebut tidak terdengar oleh masyarakat luas secara terang-teranngan dan masif seperti saat ini.

Anggota lembaga perwakilan rakyat daerah yang jumlahnya pasti dari setiap Parpol yang ada pada saat itu tidak memungkinkan para anggota lembaga perwakilan tersebut untuk “nyeleneh” dan ke luar dari garis partainya dalam pemilihan kepala daerah. Artinya, jika ada pilihan anggota lembaga perwakilan rakyat daerah tersebut yang berbeda dengan pilihan atau arahan pimpinan Parpol akan mudah terdeteksi dan teridentifikasi oleh Parpolnya.

Dengan demikian, sebesar apa pun iming-iming politik uang yang ditawarkan oleh para calon kepala daerah kepada para anggota lembaga perwakilan rakyat daerah tidak mudah untuk terjadi secara nyata. Kalau pun masih saja terjadi politik uang dalam pemilihan kepala daerah pada waktu itu oleh calon kepala daerah kepada para anggota lembaga perwakilan rakyat daerah tentu terlalu beresiko untuk diketahui dan tentu akan mendapatkan sanksi yang tegas dari Parpolnya. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below