Menyoal Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kesepuluh)

Oleh: Hernadi Affandi

Namun demikian, menilik jabatan yang dirumuskan atau dicantumkan di dalam RUU Ibu Kota Negara tersebut, ternyata masih Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham). Artinya, pejabat yang akan mengundangkan RUU tersebut adalah Menkumham seperti diatur oleh UU P3 sebelum perubahan.

Kenyataan tersebut dapat saja justru menjadi persoalan tersendiri karena sampai saat ini Presiden belum menjalankan ketentuan Pasal 21 ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2019. Dengan kata lain, Presiden belum melakukan perubahan nama jabatan menteri yang diberi wewenang untuk melaksanakan pengundangan.

Pasal 21 ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2019 tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Akibat perubahan istilah jabatan atau nama menteri atau lembaga tersebut akan terjadi penggantian juga nama menteri yang diberi wewenang untuk melaksanakan pengundangan undang-undang. Dalam hal ini, pengundangan undang-undang semestinya dilakukan oleh menteri atau kepala lembaga baru tersebut.

Dengan demikian, pihak yang seharusnya melaksanakan pengundangan RUU Ibu Kota Negara tersebut bukan lagi Menkumham. Setelah perubahan, semestinya menteri atau kepala lembaga baru yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Secara normatif, RUU Ibu Kota Negara tersebut tentu tidak dapat diubah lagi termasuk nama jabatan menteri yang akan mengundangkan RUU tersebut. Alasannya, setelah RUU disetujui bersama oleh DPR dan Presiden tidak boleh lagi ada perubahan sekecil apapun termasuk nomenklatur yang digunakan.

Artinya, nomenklatur yang digunakan untuk jabatan yang diberi wewenang untuk melaksanakan pengundangan RUU Ibu Kota Negara “terlanjur” masih Menkumham. Dengan demikian, nomenklatur baru, yaitu menteri atau kepala lembaga yang dimaksud dalam UU P3 Perubahan belum akan digunakan.

Keadaan tersebut menunjukkan pula bahwa Presiden belum utuh menjalankan perintah UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah oleh UU Nomor 15 Tahun 2019. Padahal, beberapa waktu lalu Presiden sempat mengubah nama beberapa kementerian, tetapi justru Kemenkumhan tidak diubah.

Perubahan nomenklatur di dalam RUU Ibu Kota Negara memang tidak mungkin dilakukan di tengah jalan atau setelah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Hal itu tambah menjadi tidak mungkin dilakukan karena RUU Ibu Kota Negara tersebut sudah tinggal menunggu pengesahan dan pengundangan.

Kehadiran RUU Ibu Kota Negara sampai saat ini masih belum tuntas karena masih menantikan dua tahapan lagi, yaitu pengesahan dan pengundangan. Artinya, saat ini belum ada upaya yang dapat dilakukan oleh rakyat selain harus menunggu dulu pengesahan dan pengundangan RUU tersebut. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below