Menyoal Rumusan Pancasila

Oleh: Hernadi Affandi

Dalam beberapa waktu terakhir marak unjuk-rasa masyarakat yang menentang pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) oleh DPR dan Pemerintah. Penentangan tersebut mulai masif memasuki bulan Juni yang secara kebetulan merupakan peringatan Hari Lahirnya Pancasila. Ada pendapat bahwa pembahasan RUU HIP tersebut akan menurunkan derajat Pancasila dari dasar negara dan pandangan hidup bangsa menjadi “benda lain”. Adanya rumusan di dalam RUU HIP yang dapat memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila menimbulkan pertanyaan  mendasar mau dibawa ke mana Pancasila itu.

Persoalan dasar negara sebenarnya sudah selesai dengan dirumuskannya Pancasila di dalam Piagam Jakarta yang ditandatangani oleh para pendiri negara yang duduk sebagai PPKI. Pada waktu itu, para pendiri negara sudah menyepakati bahwa rumusan yang diterima dan disetujui untuk menjadi dasar negara bukan berasal dari gagasan Muhammad Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo, Soekarno, Hatta, atau yang lain. Hasil kesepakatan itu menunjukkan bahwa tidak ada pihak yang dominan dalam mengusulkan gagasan atau rumusannya karena sangat berbeda dengan gagasan yang pernah disampaikannya di dalam sidang BPUPKI sebelumnya.

Kesepakatan tersebut dituangkan ke dalam sebuah piagam dan dikenal dengan nama Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Namun demikian, terdapat perubahan di mana rumusan pertama yang semula berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sementara itu, rumusan yang lainnya tetap, yaitu berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Selanjutnya, Piagam Jakarta tersebut dijadikan Pembukaan UUD 1945 termasuk rumusan Pancasilanya pada tanggal 18 Agustus 1945. Dengan demikian, rumusan Pancasila yang ada di dalam Piagam Jakarta dan kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945 tidak ada “pemiliknya” karena merupakan kesepakatan bersama. Dengan demikian, rumusan itu bukan milik Muhammad Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo, Soekarno, Hatta, atau yang lain. Dengan kata lain, “hak cipta” Pancasila itu tidak terletak di tangan seseorang, tetapi ada di tangan PPKI.

Rumusan Pancasila Berbeda-beda

Perjalanan sejarah bangsa setelah merdeka ternyata tidak mulus karena masih terjadi gejolak baik yang bersifat keamanan, politik, ekonomi, hukum, dan lain-lain. Salah satu persoalan yang krusial adalah persoalan kemerdekaan yang dianggap belum tuntas karena Belanda belum mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Justru persoalan itu menjadi faktor pemicu terjadinya perubahan UUD 1945 dengan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat (KSRIS) sebagai akibat Konferensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember 1949.

Akibat penggantian UUD 1945 dengan KSRIS 1949, rumusan Pancasila juga mengalami perubahan. Di dalam Preambule KSRIS rumusan Pancasila menjadi berbunyi sebagai berikut “Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”. Selanjutnya, KSRIS 1949 juga mengalami penggantian dengan UUD Sementara 1950. Namun demikian, rumusan Pancasila tidak mengalami perubahan sekalipun terjadi penggantian KSRIS 1949 dengan UUDS 1950. Alasannya, UUDS 1950 merupakan kelanjutan dari KSRIS hanya menghilangkan unsur “serikatnya” karena Indonesia kembali menjadi negara kesatuan.

Selanjutnya, UUD Sementara 1950 diganti kembali dengan UUD 1945 seiring dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Sebagai konsekuensinya, rumusan Pancasila yang ada di dalam UUDS 1950 mengalami perubahan kembali seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 seperti sebelum diganti oleh KSRIS 1949. Sejak saat itu, rumusan Pancasila yang sah dan konstitusional adalah rumusan yang ada dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan kata lain, rumusan Pancasila yang ada saat ini adalah rumusan yang semula merupakan hasil kompromi atau kesepakatan para anggota PPKI.

Namun demikian, secara sosiologis di masyarakat dikenal pula rumusan Pancasila yang lain. Bahkan, Soekarno sendiri di dalam kursus-kursus Pancasila yang diselenggarakan pada tahun 1960-an masih mempopulerkan pandangannya ketika di sidang BPUPKI di mana rumusan Pancasila bisa diperas menjadi Trisila bahkan Ekasila. Dengan demikian, Pancasila yang lima itu menurut Soekarno tidak prinsipil baik jumlah, rumusan, maupun urutannya.

Demikian pula halnya Muhammad Yamin di dalam beberapa bukunya mengemukakan rumusan Pancasila yang berbeda-beda. Yamin menyebutkan rumusan Pancasila sebagai berikut: “Peri-Kemanusiaan, Peri-Kemanusiaan, Kerakyatan, Kebangsaan Indonesia, Keadilan Sosial”. Selain itu, Yamin juga menyebutkan rumusan Pancasila sebagai berikut: “Peri-Ketuhanan Yang Maha Esa, Peri-Kerakyatan, Peri-Kebangsaan, Peri-Keadilan Sosial, Peri-Kemanusiaan”.

Bahkan, Ki Hajar Dewantara merumuskan Pancasila yang lain, yaitu: “Ketuhanan, menurut “adab perikemanusiaan”, Kebangsaan yang berdasarkan kepada “perikemanusiaan”, Kedaulatan rakyat yang mengingati asas “perikemanusiaan”, Keadilan sosial sesuai dengan tuntutan adab “perikemanusiaan”, Keluhuran hidup perikemanusiaan, yakni pangkal induknya”. Menurut Ki Hajar “sangat boleh jadi ada lain orang yang ingin memakai urut-urutan lain pula … ini harus kita akui dan kita benarkan, karena dengan memakai urut-urutan lain itu, harga atau nilai Pancasila sedikitpun tidak berkurang”.

Berdasarkan beberapa rumusan di atas, rumusan yang ada di dalam Pembukaan UUD 1945 masih belum diikuti secara konsekuen dan konsisten. Pada waktu itu, Pancasila dapat dimaknai sebagai apa saja sesuai dengan pemikiran dan pemahamannya sendiri. Seperti dikatakan Ki Hajar bahwa dengan memakai urut-urutan sendiri yang sesuai dengan sifat jiwanya, Pancasila tadi lalu menjadi “hidup” bagi mereka yang menggunakan wiramanya itu, sesuai dengan wirama yang hidup di dalam jiwanya sendiri.

Sebagai akibat masih banyaknya rumusan Pancasila yang berbeda-beda, pada masa Orde Baru dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 1968 tanggal 13 April 1968. Alasan dikeluarkannya Inpres tersebut dapat dilihat di dalam konsiderans menimbang angka 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut: “1. bahwa sampai sekarang masih belum terdapat keseragaman mengenai tata urutan dan rumusan sila-2 dalam penulisan/pembatjaan/pengutjapan Pantja Sila; 2. bahwa untuk kepentingan keseragaman itu perlu menetapkan tata urutan dan rumusan sila-2 sebagaimana dimuat dalam Pembukaan Undang-2 Dasar 1945, sebagai tata urutan dan rumusan dalam penulisan/pembatjaan/pengutjapan Pantja Sila.

Dengan Inpres tersebut bukan saja rumusan Pancasila mengikuti Pembukaan UUD 1945, tetapi juga urutannya tidak dapat diubah apalagi diperas menjadi Trisila atau Ekasila. Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika masa Orde Baru merupakan masa penanaman dan pengukuhan Pancasila baik sebagai dasar, falsafah, maupun ideologi negara. Bahkan, Pancasila di era Orde Baru dijadikan satu-satunya asas dalam kehidupaan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below