Persetujuan Bersama RUU Cipta Kerja, Dagelan Politik Di Tengah COVID-19

Oleh: Hernadi Affandi

Peristiwa luar biasa sudah terjadi pada hari kemarin, Senin (5/10/2020) yaitu persetujuan bersama antara DPR dengan Pemerintah terkait dengan RUU Cipta Kerja atau RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Peristiwa itu disebut dagelan politik karena terjadi di tengah pandemi corona virus disease (COVID-19).

Akibat peristiwa tersebut, muncul pandangan pro dan kontra terhadap langkah yang diambil DPR dan Pemerintah tersebut. Secara umum, kedua pihak tersebut memiliki arah dan cara pandang yang berbeda, sehingga agak sulit untuk menemukan titik temu atau jalan tengah.

Bagi yang pro, langkah DPR dan Pemerintah tersebut sudah dianggap tepat karena diperlukan untuk memperbaiki perekonomian, terutama kemudahan iklim investasi. Perizinan sedemikian rupa dipermudah agar laju pertumbuhan ekonomi cepat tumbuh dan berkembang.

Orientasi pandangan yang pro tentu saja pertumbuhan ekonomi agar segera dapat bangkit dan mengejar ketertinggalan akibat laju pertumbuhan ekonomi selama ini yang tertahan. Dengan RUU Cipta Kerja diharapkan akan meningkatkan daya saing dan pertumbuhan perekonomian nasional.

Sebaliknya, bagi yang kontra tindakan tersebut dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat yang tengah mengalami kesulitan hidup. Terlebih kesulitan itu akan ditambah akibat berlakunya RUU Cipta Kerja yang ditengarai banyak menghapus hak-hak pekerja ke depan.

Pandangan tersebut disebabkan substansi RUU Cipta Kerja yang dirasakan terlalu pro pengusaha dan meminggirkan hak-hak kaum pekerja. Beberapa isu yang dibidik antara lain penghapusan tunjangan, pesangon, cuti, status kepekerjaan, dan hak-hak lainnya.

Dagelan Politik Di Tengah COVID-19

Persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah terkait dengan RUU Cipta Kerja dianggap memiliki kejanggalan dari akal sehat masyarakat. Bahkan, muncul anggapan tindakan tersebut sebagai dagelan politik di tengah pandemi COVID-19 yang memamerkan tiadanya empati kepada rakyat.

Di satu sisi, saat ini situasi pandemi COVID-19 memerlukan perhatian serius dari semua elemen penyelenggara negara dan pemerintahan. Semestinya, pihak pemerintah dan DPR lebih fokus kepada penanganan COVID-19 dengan segala aspek ikutannya, seperti ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain.

Dalam hal ini, masyarakat jauh lebih membutuhkan perhatian dari penanggung jawab penyelenggara negara dan pemerintahan untuk memperbaiki kehidupannya yang sudah morat-marit. Masyarakat hampir sudah kehilangan nafas untuk bertahan dari pengaruh ganasnya serangan COVID-19.

Di sisi lain,  pihak pemerintah dan DPR justru abai terhadap kesulitan rakyat yang sudah dihadapi lebih dari tujuh bulan ini. Alih-alih memperhatikan masyarakat, pemerintah dan DPR justru membuat rakyat semakin sakit kronis karena penderitaannya ke depan akan ditambah.

Persetujuan bersama Pemerintah dan DPR terhadap RUU Cipta Kerja membuktikan keabaian penyelenggara negara dan pemerintahan terhadap keadaan rakyat. Pertanyaannya, mengapa harus dilakukan saat ini? Apakah tidak dapat ditunda barang sebentar setelah situasi terbebas dari COVID-19?

Kejadian selanjutnya yang sangat mengejutkan adalah setelah pembahasan dan persetujuan bersama pada hari Senin (5/10/2020), para anggota DPR langsung akan melakukan reses alias istirahat kerja. Reses DPR biasanya berlangsung beberapa bulan dengan alasan untuk menjaring aspirasi masyarakat.

Pertanyaannya, mengapa para anggota DPR tersebut tidak reses dulu untuk meminta pendapat dan menjaring aspirasi secara langsung dari rakyat. Baru setelah reses nanti pembahasan tersebut dilanjutkan kembali. Kondisinya mungkin akan berbeda karena pasti rakyat sudah memberikan masukan dan saran.

Sayangnya, hal itu tidak dilakukan bahkan mungkin terpikirkan pun tidak oleh para anggota DPR yang terhormat. Tampaknya para anggota DPR sudah “kebelet” untuk segera menyetujui bersama RUU Cipta Kerja tersebut bersama Pemerintah.  Entah ada kesepakatan apa di luar itu antara DPR dan Pemerintah.

Hampir tidak ada contoh dalam pembahasan RUU sebelumnya yang seperti ini. Rakyat masih banyak yang kontra, tetapi DPR dan Pemerintah tetap saja jalan dan menyetujui bersama RUU tersebut. Secara akal sehat demokrasi, keadaan itu dianggap tidak demokratis dan mengabaikan hak rakyat untuk bersuara.

Akibatnya, jangan heran jika ada anggapan macam-macam dari rakyat dengan ulah DPR dan Pemerintah tersebut. Rakyat bebas untuk berasumsi dan berhipotesis terhadap tindakan DPR dan Pemerintah yang dianggap di luar kebiasaan negara demokrasi yang selalu membuka dialog dan masukan dari rakyatnya.

Sebagian rakyat mungkin ada yang berasumsi bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja yang dipaksakan dalam waktu singkat hanya untuk mengejar target. Tudingan tersebut bisa saja ada benarnya jika dilihat bahwa jumlah pasal RUU tersebut ribuan. Apakah semua pasal tersebut sudah cukup dibahas secara tuntas?

Belum lagi pertanyaan juga muncul dari kalangan akademisi yang merasa tidak dilibatkan dalam hajat pembentukan RUU Cipta Kerja tersebut. Biasanya, kalangan akademisi memiliki persepsi, perspektif, dan konteks yang berbeda dalam menganalisis suatu RUU, sehingga akan lebih tajam dan jeli.

Dengan pengalaman segudang, biasanya para akademisi melakukan kajian kritis atas berbagai aspek yang terkait dengan materi muatan suatu RUU. Naluri akademis biasanya tercermin dari kupasan yang sangat komprehensif dalam melihat dan menilai sesuatu dan didukung dengan fakta dan data.

Para akademisi sering pasang badan untuk meminimalisasi persoalan yang mungkin akan timbul kemudian dengan pemikiran yang kritis dan futuristik. Bagi akademisi akan lebih baik berdiskusi sampai berdarah-darah daripada setelah berlaku suatu RUU justru menjadi bom waktu yang akan merugikan.

Penutup

Kesepakatan DPR dan Pemerintah dalam menyetujui bersama RUU Cipta Kerja sebenarnya dalam proses pembentukan undang-undang belum berakhir. Masih ada dua langkah lagi yang harus dilalui, yaitu pengesahan dan pengundangan. Kedua aspek tersebut berada di ranah Pemerintah untuk memainkannya.

Apabila Presiden masih sempat mendengarkan suara rakyat dapat saja berubah pikiran. Meskipun Pemerintah (Presiden) sudah menyetujui bersama RUU Cipta Kerja bersama DPR, Presiden masih punya senjata untuk tidak mengesahkannya. Hal itu akan mengakibatkan RUU tersebut sah secara hukum.

Namun demikian, jika di tangan Presiden RUU tersebut justru disahkan dan diundangkan, maka langkah yang harus ditempuh adalah menguji undang-undang tersebut ke MK. Dalam hal ini, MK dapat menjadi tumpuan harapan rakyat yang sedang bergejolak dengan mengabulkan permohonan gugatan rakyat.

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below