Jadi Profesor Makin Sulit?

Makramat.com. Harapan sebagian besar dosen untuk menjadi profesor alias guru besar tampaknya harus tertahan lagi. Betapa tidak, karena Pemerintah terkesan semakin mempersulit persyaratan dan prosesnya. Hal itu tertuang di dalam Surat Dirjen Dikti Nomor 638/E.E4/KP/2020 tertanggal 23 Juni 2020 yang ditujukan kepada para Pimpinan Perguruan Tinggi, Kepala Lembaga Layanan PendidikanTinggi, dan Kementerian/Lembaga terkait.

Surat itu berisi tiga poin, tetapi yang menarik untuk dicermati adalah poin kedua yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam rangka melaksanakan kebijakan Kampus Merdeka, saat ini sedang dilakukan perbaikan aturan terkait penilaian angka kredit dosen yang akan tertuang dalam  Peraturan Menteri PANRB, Peraturan Mendikbud, dan Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang direncanakan diberlakukan mulai 1 Januari 2021.”

Surat tersebut sekaligus juga mengubah Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen Tahun 2019. Materinya terdiri dari 12 poin di mana 11 poin mengubah pedoman operasioal lama, sedangkan satu poin (poin 12) berlaku seperti ”ketentuan peralihan” yang menetapkan bahwa perubahan tersebut berlaku mulai 1 Juli 2020.

Seorang dosen yang dimintakan pandangannya terkait dengan keluarnya surat tersebut menyatakan bahwa surat tersebut sebenarnya masih dapat dipertanyakan daya ikat-hukumnya. Alasannya, karena hal tersebut “hanya” dituangkan dalam bentuk surat biasa. Secara hukum tentu surat tersebut tidak mengikat. “Anehnya, materinya bersifat substantif di mana di dalamnya ada perubahan persyaratan untuk naik jabatan ke guru besar dan lain-lain,” katanya menjelaskan.

Baca juga: Apa Kabar Gaji Ke-13?

Persoalan rumitnya pengajuan dosen ke guru besar sebenarnya tidak perlu terjadi. Alasannya, secara normatif tidak ada ketentuan yang mewajibkan dosen yang akan ke guru besar menulis jurnal internasional apalagi bereputasi internasional.  “Coba cek di Undang-Undang Guru dan Dosen atau di PP tentang Dosen sama sekali tidak ada kewajiban tersebut.” Kata sumber yang tidak mau disebutkan identitasnya tersebut.

Dia menjelaskan, “Kalau kita bicara aturan, Undang-Undang Guru dan Dosen menegaskan bahwa persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki kualifikasi akademik doktor. Syarat lain tidak ada.” Katanya berapi-api. “Makanya, ketika ada anggota DPR yang meminta persyaratan jurnal internasional dihapuskan saya sangat setuju. Saya kira banyak dosen yang setuju dengan pernyataan itu”. “Ini mestinya yang harus direspon oleh Mendikbud”, tambahnya.

Ketika ditanya kaitannya kualitas profesor dengan karya ilmiah, dosen yang sudah lebih dari dua puluh lima tahun mengajar tersebut menjelaskan bahwa semestinya dosen yang sudah lama mengajar itu berkualitas apalagi sudah doktor. “Itu artinya mereka sudah memenuhi kualifikasi normatif undang-undang. Kecuali undang-undangnya mewajibkan (untuk menulis jurnal internasional).” katanya menegaskan.

Persoalan lain adalah terkait dengan pengertian siapa yang dimaksud dengan dosen itu? Di dalam Undang-Undang Guru dan Dosen disebutkan bahwa “Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.”

Jadi, dosen itu bukan hanya semata-mata orang yang mengajar di perguruan tinggi, tetapi pendidik profesional dan ilmuwan. Karena tugas utama dosen itu adalah mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kegiatanntya itu disebut tridharma yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dosen itu harus melaksananakn tridharma perguruan tinggi baru itu profesional. “Tidak mungkin orang di luar profesi dosen punya waktu atau kesungguhan untuk melakukan tridharma tersebut. Kalaupun dia mampu melakukan itu, sebenarnya dia sudah keluar dari profesi dia yang sesungguhnya.” katanya memberikan alasan.

“Coba anda bayangkan, apakah orang yang kerjanya sejak awal sudah jadi dosen, mengajar puluhan tahun, menulis ini-itu di bidangnya, hidup matinya di situ terus dikatakan tidak profesional?” Katanya balik bertanya. “Mana yang tidak profesional ketika ada pengacara, hakim, polisi, atau profesi lain yang hanya mengajar satu kali dua kali dalam satu bulan atau satu semester tiba-tiba jadi profesor?”,  lagi-lagi dia balik bertanya. “Itu malah menunjukkan dia tidak profesional di bidangnya karena dia nyambi di luar bidang pekerjaan atau kedinasannya.”

Anehnya yang begitu dengan mudah bisa jadi profesor. Sementara orang yang berkecimpung sejak awal disebut tidak profesional karena malas membuat jurnal internasional. “Apakah yang menulis di jurnal internasional itu pasti profesional? “Menurut saya belum tentu juga. Bisa saja tulisannya itu hasil karya orang lain atau siapa saja tapi diakui sebagai hasil karyanya sendiri. Malah ini akan menghancurkan kesucian profesi dosen itu sendiri”, lanjutnya.

Coba sekarang lihat definisi profesor itu apa? Ia membacakan definisi  “Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.” Jelas di situ “jabatan fungsional tertinggi bagi dosen”. Kalau di jabatan tentara atau polisi itulah “jenderal”-nya buat dosen.

Definisi itu mungkin harus ada penegasan bahwa yang berhak menjadi profesor itu hanya dosen yang sejak awal sudah terjun ke dunia pendidikan. Bukan seseorang dari profesi lain yang nyambi jadi dosen, tapi karena punya kesempatan menulis jurnal internasional terus bisa diusulkan jadi guru besar. “Itu justru tidak adil dan tidak profesional”, katanya menambahkan. “Kalau begitu mesti dibuka juga peluang dosen misalnya bisa jadi pengacara atau jadi jenderal, supaya adil”, katanya mengakhiri penjelasannya. (NN).

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below