Memimpikan Indonesia Sebagai Negara Tanpa Korupsi (Bagian Kedua)

Oleh: Hernadi Affandi

Perilaku koruptif dan manipulatif telah mengakibatkan rakyat menjadi korban baik secara langsung maupun tidak langsung. Berbagai sumber daya yang seharusnya sampai atau dinikmati oleh rakyat menjadi berkurang bahkan tidak sempat dinikmati oleh rakyat. Keadaan itu terjadi karena penyalahgunaan atau penyelewengan yang dilakukan oleh sebagian kecil para penyelenggara negara atau pemerintahan yang tidak bertanggung jawab.

Ketamakan sebagian pihak yang mendapat amanat untuk mengelola negara dan pemerintahan menyebabkan rakyat terpinggirkan hak-haknya. Keadaan itu diperparah karena rakyat tidak lagi menjadi pusat perhatian dalam mengelola negara. Rakyat justru dibebani dengan berbagai beban baik secara langsung atau tidak langsung. Akibatnya, rakyat yang sudah menderita menjadi tambah menderita karena harus menanggung kebijakan yang salah atau tidak tepat.

Penyalahgunaan kekuasan atau jabatan juga menjadi persoalan yang turut memberikan andil terhadap penderitaan rakyat. Alih-alih kekuasaan atau jabatan sebagai amanah yang semestinya dijalankan dengan baik justru disalahgunakan. Kekuasaan atau jabatan dianggap sebagai kesempatan untuk mengeruk dan menguras sumber daya negara baik sumber daya alam, ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain.

Keadaan itu menjadi berkelindan antara pejabat negara dan pemerintahan dengan penjahat berbaju kekuasaan. Perilaku seperti itu jauh lebih jahat dan merusak karena rakyat menganggap tindakan atau kebijakan itu sebagai kebijakan negara. Padahal, kebijakan itu hanya untuk menguntungkan sebagian bahkan segelintir kroni atau pihak yang dibelanya. Rakyat kebanyakan justru menjadi korban akibat kebijakan dan tindakannya tersebut.

Apabila dianalogikan dengan masa perjuangan dalam merebut kemerdekaan, pejabat semacam itu tidak ada bedanya dengan pengkhianat. Film-film perjuangan sering mempertontonkan di antara sekian banyak pejuang dan pembela negara ada saja di antaranya yang justru menjadi pengkhianat. Alih-alih mereka melindungi teman-teman seperjuangan justru menjadi mata-mata dan membocorkan keberadaan para pejuang dengan imbalan tertentu.

Fakta adanya pengkhianatan pada masa sebelum kemerdekaan negara ini tidak jauh berbeda dengan setelah kemerdekaan. Artinya, ada sebagian pejuang yang tidak sungguh-sungguh berjuang untuk negara dan rakyat tetapi untuk kepentingan pribadi atau pihak yang membayarnya. Perjuangan para pejuang yang sebenarnya alias murni justru menjadi rusak dan tercemar bahkan gagal karena pejuang berbulu domba tersebut.

Perilaku semacam itu juga banyak muncul setelah Indonesia merdeka dengan model dan jenis yang berbeda. Namun demikian, hakikatnya sama karena sama-sama merusak dan merugikan rakyat dan negara. Keterlibatan para penyelenggara negara dan pemerintahan yang korup dan manipulatif dalam mengelola negara analog dengan pejuang yang berkhianat. Akibatnya, negara dan rakyat pula yang menjadi korban dengan menduanya hati para pengkhianat itu.

Hal itu antara lain ditunjukkan dengan kasus korupsi yang justru masih saja terjadi dan berlangsung di tengah kondisi negara ini dalam keadan sulit. Alih-alih para penyelenggara negara dan pemerintahan mencari cara dan jalan agar keluar dari kesulitan justru menjadi faktor pendorong kesulitan itu sendiri. Akhirnya, rakyat pula yang terkena dampak dan imbas dari perilaku koruptif dan manipulatif pejabat semacam itu. (Bersambung)

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below