Menyoal Penghitungan Suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Bagian Keenam)

Oleh: Hernadi Affandi

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa ketentuan dalam Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 mengasumsikan peserta Pilpres lebih dari dua pasangan calon. Ketentuan tersebut juga diperkuat oleh ketentuan lain jika terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan.

Hal itu dapat dilihat dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang juga mengisyaratkan Pilpres diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon. Alasannya, ketentuan tersebut juga mengaitkan dengan hasil perolehan suara pasangan calon terbanyak pertama dan kedua.

Secara kebetulan atau tidak pengaturan Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 8 ayat (3) tersebut dilakukan pada saat perubahan keempat UUD 1945 tahun 2002. Artinya, kedua ketentuan tersebut memiliki hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam hal jumlah peserta dalam Pilpres.

Adapun rumusan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 berbunyi sebagai berikut: Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.

Selanjutnya, rumusan tersebut berbunyi: Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

Asumsi bahwa Pilpres diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon dapat dilihat dari frasa “meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya”. Artinya, untuk menentukan adanya suara terbanyak pertama dan kedua pesertanya harus lebih dari dua pasangan.

Secara hipotetis, apabila Pilpres tidak diasumsikan diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon tentu rumusannya tidak seperti itu. Misalnya, Pilpres diikuti oleh hanya satu pasangan calon atau dua pasangan calon tentu rumusannya juga akan berbeda dengan rumusan dalam pasal tersebut.

Setidaknya, ada dua kemungkinan rumusan yang dapat mengakomodasi ketika misalnya Pilpres hanya diikuti oleh pasangan calon kurang dari dua pasangan. Artinya, MPR hanya tinggal menetapkan atau memilih dari dua pasangan calon yang diusulkan oleh partai pengusul dalam Pilpres.

Misalnya, rumusannya akan memiliki dua alternatif untuk menetapkan atau memilih pengganti Presiden dan Wakil Presiden. Kedua alternatif tersebut akan berkaitan dengan peserta Pilpres apakah diikuti oleh satu pasangan calon atau dua pasangan calon karena konsekuensinya berbeda.

Pertama, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk menetapkan Presiden dan Wakil Presiden dari pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik pemenang dalam pemilihan umum sebelumnya.

Kedua, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta dalam pemilihan umum sebelumnya.

Berkaitan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 sebenarnya masih menimbulkan pertanyaan secara akademik. Pertanyaan tersebut tentu hanya bersifat akademik-ilmiah yang tidak perlu dikaitkan dengan politik praktis karena hanya bersifat hipotetis semata.

Pertama, mengapa MPR harus memilih dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dalam pemilihan di MPR tersebut dapat saja Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih bukan berasal dari partai pemenang dalam Pilpres.

Hal itu akan membawa konsekuensi kepada partai politik atau gabungan partai politik pemenang apabila pasangan calon yang diusulkannya kalah dalam pemilihan di MPR. Artinya, terdapat perbedaan antara suara rakyat dalam Pilpres dengan suara anggota MPR dalam pemilihan tersebut. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below