Menyoal Penghitungan Suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Bagian Kelima)

Oleh: Hernadi Affandi

Secara normatif, Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 tampaknya diasumsikan untuk Pilpres yang diikuti oleh hanya dua pasangan calon. Hal itu ditunjukkan dengan adanya frasa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan … dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.”

Meskipun ketentuan tersebut sebenarnya tidak menegaskan adanya istilah “pemenang” dalam Pilpres, maksudnya tentu yang dilantik adalah pasangan pemenang. Pasangan pemenang dalam Pilpres tentu yang memenuhi ketentuan dalam Pasal 6A ayat (3) sebagaimana sudah dijelaskan.

Artinya, calon yang “dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden” tentu harus merupakan pemenang dalam Pilpres tersebut. Adapun pemenangnya adalah pasangan calon yang memperoleh jumlah suara lima puluh persen plus satu, sebaran 20 provinsi, dan 20 persen di setiap provinsi.

Sekali lagi harus dicatat bahwa ketentuan dalam Pasal 6A ayat (3) diasumsikan untuk Pilpres yang diikuti oleh hanya dua pasangan calon. Dalam hal ini, pemenangnya akan lebih mudah diketahui dari jumlah suara yang diperoleh secara langsung, sehingga tidak diperlukan putaran kedua.

Namun demikian, kemungkinan dalam praktik dapat saja terjadi di mana peserta hanya dua pasangan calon dan suara yang diperoleh sama-sama lima puluh persen. Artinya, jumlah suara yang diperoleh pasangan calon sama persis, sehingga tidak ada pemenang dengan suara lima puluh persen plus satu.

Kemungkinan tersebut memang sangat kecil terjadi karena meskipun peserta hanya dua pasangan calon suara yang diperoleh belum tentu sama persis masing-masing lima puluh persen. Kesamaan yang benar-benar sama persis dalam praktik tentu merupakan sesuatu yang sangat jarang terjadi.

Selain itu, kemungkinan juga dapat terjadi meskipun calon hanya dua pasangan di mana suara yang diperoleh pun belum tentu memenuhi ketentuan lainnya. Dalam arti, sebaran provinsi dan prosentasenya di setiap provinsi minimal 20 persen belum tentu dapat dipenuhi oleh salah satu pasangan calon.

Artinya, ketiga aspek sebagaimana diatur di dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 belum tentu dapat terpenuhi meskipun Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon. Hal itu menunjukkan bahwa segala kemungkinan dapat saja terjadi meskipun menurut hitungan di atas kertas sangat kecil.

Oleh karena itu, apabila ketentuan Pasal 6A ayat (3) tidak terpenuhi harus dilakukan Pilpres putaran kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (4). Menurut ketentuan tersebut, Pilpres putaran kedua diikuti oleh dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua.

Ketentuan dalam Pasal 6A ayat (4) tersebut mengasumsikan bahwa peserta Pilpres harus lebih dari dua pasangan calon. Apabila pasangan calon hanya dua saja tentu tidak diperlukan adanya Pilpres putaran kedua karena secara teknis cukup mengikuti ketentuan dalam Pasal 6A ayat (3) saja.

Secara normatif ketentuan dalam Pasal 6A ayat (3) seakan-akan kontradiksi dengan ketentuan dalam Pasal 6A ayat (4). Alasannya, Pasal 6A ayat (3) lebih menekankan jika peserta Pilpres hanya dua pasangan calon, sedangkan Pasal 6A ayat (4) menekankan jika pasangan calon lebih dari dua.

Namun demikian, apabila diperhatikan secara seksama sebenarnya kedua ayat tersebut harus dibaca dalam satu kesatuan yang saling menguatkan. Dalam arti, apabila ketentuan dalam Pasal 6A ayat (3) tidak terpenuhi dibuka jalan keluarnya melalui ketentuan dalam Pasal 6A ayat (4).

Berdasarkan ketentuan tersebut, pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak dalam putaran kedua dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Artinya, dalam Pilpres putaran kedua tersebut tidak lagi memperhitungkan sebaran jumlah suara baik jumlah provinsi maupun prosentase di setiap provinsi.

Dalam hukum memang biasa diatur jalan keluar sebagai antisipasi yang diperlukan untuk mengatasi kemungkinan terjadinya hal yang paling buruk. Adanya antisipasi sejak awal akan memudahkan ketika dalam praktik terjadi hal-hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Antisipasi tersebut pernah digunakan ketika dalam praktik beberapa Pilpres pernah diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon, bahkan sempat lima pasangan calon. Artinya, apabila tidak ada ketentuan Pasal 6A ayat (4) tidak mudah untuk menentukan pemenang dalam Pilpres tersebut. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below