Menyoal Penghitungan Suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Bagian Kelimabelas)

Oleh: Hernadi Affandi

Ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 134 ayat (1) Tatib MPR tersebut merupakan pengulangan dari penggalan rumusan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Akibatnya, rumusan tersebut menjadi berbeda atau mengubah rumusan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945, sehingga tampak jelas terjadinya perubahan.

Namun demikian, Pasal 134 justru tidak memasukkan pihak pengusulnya, yaitu partai politik atau gabungan partai politik. Dalam hal ini, partai politik atau gabungan partai politik adalah  yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya.

Sementara itu, penggalan selanjutnya dari Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 dimasukkan ke dalam Pasal 135 Tatib MPR dengan mengubah pula rumusannya. Dalam Pasal 135 tersebut terjadi pula penambahan dengan memasukkan alasan terjadinya kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

Selengkapnya, Pasal 135 berbunyi: (1) Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1), MPR menyelenggarakan Sidang Paripurna MPR paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.

(2) Waktu penyelenggaraan Sidang Paripurna MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dalam Rapat Gabungan. (3) Rapat Gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lambat 1×24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

Berdasarkan ketentuan Pasal 135 Tatib MPR tersebut, pada intinya berbeda dengan pengisian ketika Wakil Presiden kosong karena naik menjadi Presiden. Perbedaan tersebut terkait waktu pelaksanaan rapat MPR yang harus dilaksanakan sebelum 30 hari sejak terjadi kekosongan kedua jabatan tersebut.

Di dalam Pasal 135 Tatib MPR tampak terjadi penambahan dan perluasan ketentuan terkait dengan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang berhalangan tetap secara bersamaan. Namun demikian, ketentuan tersebut juga tidak memasukkan pengertian suara terbanyak secara lebih jelas dan rinci.

Seperti sudah dijelaskan bahwa pengertian suara terbanyak hanya disebutkan di dalam Pasal 95 yang menyebutkan “diambil dalam pemungutan suara”. Namun demikian, hal itu tidak dijelaskan apakah suara terbanyak tersebut bersifat sederhana (simple majority), mutlak (absolute majority), dua-pertiga, dan lain-lain.

Pasal 95 berbunyi sebagai berikut: (1) Keputusan berdasarkan suara terbanyak ialah keputusan yang diambil melalui pemungutan suara. (2) Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengadakan penghitungan suara secara langsung dari Anggota MPR.

Sebagai pengaturan lebih lanjut dari Pasal 135 tersebut, ketentuan teknisnya diatur di dalam Pasal 136 Tatib MPR. Ketentuan tersebut menegaskan partai politik atau gabungan partai politik yang berhak mengajukan calonnya adalah hanya partai politik yang memperoleh suara terbesar dalam pemilihan umum DPR.

Selengkapnya, Pasal 136 berbunyi sebagai berikut: (1) Paling lama 3×24 (dua puluh empat) jam sejak Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1), Pimpinan MPR memberitahukan kepada partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya untuk mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

(2) Pemberitahuan pimpinan kepada partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pemberitahuan waktu penyelenggaraan Sidang Paripurna MPR dan syarat-syarat yang harus dilengkapi oleh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Partai politik atau gabungan partai politik yang berhak mengajukan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum.

(4) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai nama calon yang diusulkan dari gabungan partai politik untuk mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (3), yang berhak mengajukan hanya partai politik yang memperoleh suara terbesar dalam pemilihan umum DPR. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below