Menyoal Penghitungan Suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Bagian Ketiga)

Oleh: Hernadi Affandi

Secara umum, memang ketentuan dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menentukan jumlah suara terbanyak, yaitu lebih dari lima puluh persen. Artinya, pemenang dalam Pilpres harus memperoleh suara mayoritas dengan lebih dari lima puluh persen, setidaknya lima puluh persen plus satu.

Namun demikian, jumlah suara terbanyak tersebut belum mutlak menjadi penentu bahwa pasangan calon tersebut sebagai pemenang dalam Pilpres. Alasannya, jumlah suara mayoritas tersebut harus didukung pula dengan sebaran perolehan suara di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Apabila di Indonesia saat ini ada 38 provinsi, maka suara mayoritas tersebut harus diperoleh setidaknya di setengah jumlah provinsi, yaitu 19 provinsi ditambah satu provinsi menjadi minimal 20 provinsi. Artinya, kemenangan tersebut harus diperoleh pasangan calon minimal di 20 provinsi.

Syarat tersebut dianggap yang paling sulit karena jumlah suara mayoritas tersebut minimal harus diperoleh di 20 provinsi dari 38 provinsi. Padahal, pasangan calon untuk memenangkan di 20 provinsi bukan pekerjaan mudah karena faktor penerimaan masyarakat pemilih di setiap provinsi berbeda-beda.

Terpenuhinya dua hal itu pun masih belum menjadi patokan bahwa pasangan calon yang memperoleh suara mayoritas tersebut dapat dianggap sebagai pemenang dalam Pilpres. Selain jumlah suara terbanyak dan suara diperoleh di minimal 20 provinsi masih terdapat syarat lainnya.

Syarat tersebut adalah perolehan suara di setiap provinsi adalah minimal 20 persen. Artinya, terdapat kemungkinan bahwa pasangan calon tertentu yang memperoleh suara terbanyak di 20 provinsi, tetapi tidak mampu mencapai perolehan minimal 20 persen suara di seluruh provinsi tersebut.

Kemungkinan juga dapat terjadi di mana suara yang diperoleh oleh pasangan calon sudah lebih dari 50 persen plus satu dan tersebar di 20 provinsi. Tetapi jika sebarannya tidak memenuhi minimal 20 persen di setiap provinsi, hal itu juga belum menjadi ukuran kemenangan calon.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 tampak bahwa penentuan pemenang dalam Pilpres sangat menjelimat. Artinya, penentuan pemenang dalam Pilpres bukan hanya ditentukan oleh peroleh jumlah suara terbanyak atau mayoritas semata-mata.

Kesulitan tersebut mungkin agak mudah diatasi jika pasangan calon yang ikut kontestasi hanya dua pasangan. Tetapi, ketika pasangan calonnya lebih dari dua, maka hal itu akan sulit diperoleh apalagi pasangan calon tersebut memiliki dukungan yang relatif merata di sejumlah provinsi.

Dalam upaya mengurangi kesulitan yang akan terjadi dalam memenuhi ketentuan dalam Pasal 6A ayat (3) karena belum adanya pemenang, maka UUD 1945 menentukan alternatif. Hal itu diatur di dalam Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 dengan membuka kemungkinan Pilpres putaran kedua.

Selengkapnya, Pasal 6A ayat (4) berbunyi: Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Berdasarkan ketentuan tersebut tiga alasan sebagaiman diatur di dalam Pasal 6A ayat (3) jika tidak terpenuhi menjadi alasan Pilpres putaran kedua. Pertama, belum ada pemenang yang memenuhi 50 persen suara plus satu. Kedua, suara yang diperoleh tidak tersebar di 20 provinsi. Ketiga, suara yang diperoleh di setiap provinsi tidak mencapai minimal 20 persen.

Dalam hal ini, peserta yang dilibatkan dalam Pilpres putaran kedua adalah hanya pemenang pertama dan kedua. Sementara itu, pemenang ketiga dan seterusnya tidak diikutsertakan lagi dalam Pilpres putaran kedua tersebut. Dengan catatan, peserta dalam Pilpres lebih dari dua pasangan.

Oleh karena itu, hitung-hitungan hasil survei yang hanya menunjukkan angka atau prosentase tertentu belum menjadi tolok ukur pasangan calon tertentu menang atau kalah. Angka-angka tersebut belum pasti jika belum dilihat sebaran provinsi dan prosentasenya di setiap provinsi. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below