Menyoal Penghitungan Suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Bagian Ketigabelas)

Oleh: Hernadi Affandi

Dalam Tatib MPR tersebut terdapat ketentuan yang menarik perhatian untuk didiskusikan secara akademik-ilmiah bukan secara politik praktis. Alasannya, ketentuan tersebut sudah merupakan hukum positif yang harus diikuti kecuali suatu ketika dilakukan perubahan terhadap hal itu.

Ketentuan tersebut adalah sebagaimana diatur di dalam Pasal 130 ayat (3) dan (4) yang terkesan sebagai ketentuan yang bertele-tele. Dalam hal itu, ketentuan yang satu seakan-akan tidak perlu karena dalam kenyataannya dianulir oleh ketentuan lainnya, sehingga terkesan menjadi sia-sia.

Pasal 130 tersebut berbunyi sebagai berikut: (3) Dalam hal suara yang diperoleh tiap-tiap calon sama banyak, pemilihan diulang 1 (satu) kali lagi. (4) Dalam hal pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hasilnya tetap sama, Presiden memilih salah satu di antara calon Wakil Presiden.

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa muncul pertanyaan mengapa calon Wakil Presiden harus diajukan oleh Presiden sebanyak dua orang. Mekanisme itu mungkin akan lebih sederhana apabila calon Wakil Presiden yang diajukan hanya satu orang tanpa harus ada pemilihan lagi.

Ketentuan tersebut tampaknya dimaksudkan untuk tetap memberikan peran yang cukup besar kepada MPR dalam memilih Wakil Presiden. Hal itu untuk menjaga agar kewenangan MPR tidak terlalu hilang drastis akibat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung.

Namun demikian, tata cara pemilihan Wakil Presiden pengganti tersebut justru dianggap cukup bertele-tele karena ujung-ujungnya kata akhirnya ada di tangan Presiden. Artinya, “kata putus” terakhir pengajuan calon Wakil Presiden pengganti tersebut justru dipegang oleh Presiden.

Ketentuan tersebut tentu akan memiliki resiko tertentu dalam konteks kehidupan hukum dan politik di Indonesia. Misalnya, ketika Presiden mengajukan atau mencalonkan calonnya dari keluarga, kroni, atau orang dekatnya yang nirkapasitas, nirkapabilitas, atau alasan negatif lainnya.

Tatib MPR tersebut membuka ruang sebebas-bebasnya kepada Presiden untuk mengajukan calon Wakil Presiden pendampingnya. Bahkan, dalam hal itu peran MPR juga menjadi tidak ada karena hanya tinggal menetapkan atau mengesahkan calon Wakil Presiden yang diajukan oleh Presiden.

Adanya ketentuan yang memberikan peran yang sangat besar kepada Presiden dalam mengajukan calon Wakil Presiden setidaknya dapat menimbulkan tiga persoalan. Pertama, penolakan dari MPR. Kedua, penolakan dari partai politik atau gabungan partai politik. Ketiga, penolakan dari masyarakat.

Kemungkinan adanya penolakan dari MPR dapat terjadi karena perannya dalam memilih Wakil Presiden menjadi sangat kecil. Dalam hal ini, MPR tidak lagi memiliki kesempatan untuk memilih Wakil Presiden karena calon tersebut dipilih sendiri oleh Presiden sesuai dengan kemauannya.

Penolakan tersebut juga dapat terjadi karena menghilangkan peran partai politik atau gabungan partai politik dalam pengajuan calon Wakil Presiden pengganti. Ketentuan tersebut seakan-akan justru meminggirkan peran partai politik atau gabungan partai politik dalam proses tersebut.

Padahal, partai politik atau gabungan partai politik adalah pihak yang sangat berperan dalam menaikkan Presiden pengganti tersebut. Artinya, tanpa ada keterlibatan partai politik atau gabungan partai politik sebelumnya dalam hal itu tidak mungkin seseorang akan menjadi Presiden.

Namun demikian, peran partai politik atau gabungan partai politik dalam hal itu menjadi hilang atau tidak ditonjolkan lagi. Keberadaan partai politik atau gabungan partai politik pengusung menjadi sama sekali tidak berperan ketika pemilihan diserahkan sepenuhnya kepada Presiden.

Penolakan dapat juga terjadi oleh masyarakat ketika calon Wakil Presiden yang diajukan oleh Presiden berbeda dengan harapan rakyat. Misalnya, calon Wakil Presiden yang diajukan bukan berasal dari partai politik atau gabungan partai politik yang dipilih oleh rakyat sebagai pemenang.

Perbedaan pilihan antara Presiden dengan rakyat dalam mengisi jabatan Wakil Presiden dapat saja terjadi karena mekanismenya sudah berbeda. Dalam hal ini, rakyat sudah tidak lagi memiliki kesempatan untuk turut-serta dalam menentukan apalagi memilih Wakil Presiden secara langsung. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below