Menyoal Penghitungan Suara Pemilihan Umum Legislatif (Bagian Pertama)

Oleh: Hernadi Affandi

Seperti halnya pemilihan umum Presiden (Pilpres), pemilihan umum legislatif (Pileg) saat ini juga sudah memasuki masa kampanye. Tahapan tersebut adalah tahapan ketujuh dari sebelas tahapan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Secara normatif dalam UU Pemilu tersebut tidak ada penyebutan istlah pemilihan umum legislatif (Pileg) seperti yang tertera dalam judul. Istilah Pileg merupakan istilah yang sudah dikenal dan populer oleh masyarakat yang diperkenalkan oleh kalangan pers atau media massa.

Dalam UU Pemilu tersebut, khususnya dalam Pasal 1 angka 1, hanya disebutkan istilah Pemilihan Umum atau disebut Pemilu. Pemilu sendiri pengertiannya dilihat dari kegiatan yang melibatkan seluruh rakyat untuk memilih para calon anggota lembaga legislatif dan eksekutif.

Selengkapnya, Pasal 1 angka 1 UU Pemilu berbunyi: Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam hal ini, Pileg adalah dalam rangka memilih anggota legislatif mulai dari pusat sampai dengan daerah. Artinya, untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Adapun yang dimaksud dengan DPRD adalah baik DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten dan DPRD Kota. Dalam hal ini, pemilihan anggota ketiga DPRD tersebut dilakukan bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif pusat, yaitu DPR dan DPD, karena sama-sama dianggap legislatif.

Pemilu tahun 2024 merupakan pemilu serentak dalam arti waktunya dilaksanakan secara bersamaan antara Pileg dengan Pilpres. Dalam hal ini, Pileg untuk memilih calon anggota legislatif pusat dan daerah, sedangkan Pilpres untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Secara faktual, tahapan Pileg kurang dirasakan gemanya di masyarakat karena seakan-akan tertutup oleh hingar bingar Pilpres. Bahkan, Pilpres sudah dirasakan gema dan kegaduhannya oleh masyarakat jauh-jauh hari sebelum tahapan resminya dimulai sesuai dengan UU Pemilu.

Tahapan kampanye Pilpres juga dirasakan jauh lebih menggema dan masif jika dibandingkan dengan kampanye Pileg. Padahal, kampanye Pileg justru menyertakan para calon anggota legislatif (Caleg) yang jauh lebih banyak dengan partai politik (Parpol) masing-masing.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa Pilpres dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang lebih menarik untuk dicermati dan diikuti daripada Pileg. Padahal, kedua Pemilu tersebut sama-sama penting karena akan menyangkut seluruh aspek hidup dan kehidupan masyarakat.

Adanya fakta bahwa masyarakat kurang memberikan perhatian terhadap Pileg karena semua mata dan telinga masyarakat seakan-akan ditujukan kepada Pilpres. Segala sesuatu yang terkait dengan Pilpres akan selalu menarik minat masyarakat untuk mengetahui atau menanggapinya.

Apalagi terkait dengan Pilpres, banyak lembaga survei yang melakukan survei untuk mengukur elektabilitas pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Hal itu kemudian menjadi daya tarik bagi  bagi masyarakat untuk terus mengikuti segala hiruk-pikuk dan dinamika Pilpres.

Keadaan itu berbeda dengan Pileg karena hampir tidak ada lembaga survei yang melakukan survei untuk mengukur elektabilitas para caleg. Dalam hal ini, lembaga survei membiarkan para caleg apa adanya tanpa perlu dilakukan “pengkondisian” elektabilitasnya melalui survei.

Berbeda dengan Pileg, kegiatan survei untuk Pilpres sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden resmi diumumkan. Hal itu terus berlanjut dilakukan oleh lembaga survei sampai dengan memasuki tahapan kampanye menjelang hari “H”.

Pelaksanaan survei untuk mengukur elektabilitas pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tentu akan lebih mudah karena jumlahnya sangat sedikit. Sementara itu, jumlah caleg untuk DPR dan DPD jumlahnya ribuan apalagi ditambah caleg DPRD Provinsi dan Kabupaten atau Kota. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below