Menyoal Politik Uang Dalam Pemilu di Indonesia (Bagian Kedelapan)

Oleh: Hernadi Affandi

Adanya larangan “menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya” dalam pelaksanaan Pilkada juga diatur di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Pasal 82 UU Pemda berbunyi: (1) Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. (2) Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD.

Selain ancaman pembatalan sebagai pasangan calon, pelaku politik uang dalam Pilkada juga diancam dengan pidana penjara dan/atau denda. Pasal 117 ayat (2) UU Pemda berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Secara normatif, larangan politik uang dalam bentuk “menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya” sudah diatur di dalam undang-undang terkait. Semestinya, para peserta Pileg, Pilpres, atau Pilkada mentaati dan mengikuti ketentuan tersebut dengan tidak melakukan apa yang dilarang. Dalam kenyataannya, praktik politik uang dalam Pileg, Pilpres, dan Pilkada banyak terjadi bahkan dilakukan secara terbuka dan meluas. Hal itu tentu mencederai prinsip negara hukum yang demokratis di mana seharusnya seluruh pihak menghormati hukum dalam pelaksanaan Pemilu.

Namun, anehnya hal itu sangat sulit dibuktikan apalagi dibawa ke ranah hukum untuk diproses sebagaimana mestinya. Adanya fakta politik uang hanya dapat disaksikan dan dirasakan tetapi sulit dibuktikan secara hukum. Hampir tidak ada kasus pembatalan calon anggota DPR, DPD, DPRD, yang terpilih oleh KPU baik KPU Pusat, KPU Provinsi, KPU Kabupaten, maupun KPU Kota. Demikian juga tidak ada pembatalan pasangan capres-cawapres, atau kepala daerah-wakil kepala daerah terpilih. Artinya, meskipun praktik politik uang marak dan meluas terjadi, secara hukum hal itu tidak mampu dibuktikan di pengadilan.

Keadaan tersebut ditengarai oleh sulitnya pembuktian secara hukum karena antara pihak yang memberi dengan pihak penerima akan saling menutupi. Pihak penerima tidak akan melaporkan pihak yang memberi, dan sebaliknya pihak yang memberi juga tidak akan mengakui memberikan sesuatu kepada masyarakat. Kenyataan itu kemudian mengakibatkan larangan politik uang dalam bentuk “menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya” menjadi huruf-huruf mati di dalam undang-undang saja. Dalam praktiknya, larangan tersebut terus dilakukan oleh hampir semua calon peserta pemilu tanpa malu-malu dan ragu-ragu.

Akibat tidak efektifnya larangan politik uang di dalam undang-undang terkait, hal itu kemudian dilakukan lagi dalam kontestasi pemilu-pemilu selanjutnya. Bagi para calon atau tim suksesnya larangan itu dianggap angin lalu semata-mata, sehingga praktik tersebut diulang dan diteruskan dalam pemilu selanjutnya. Bagi masyarakat politik uang yang dilakukan secara berulang-ulang tersebut semakin membuat masyarakat terbiasa menerima politik uang dari para calon baik calon anggota legislatif, pasangan capres-cawapres, atau pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah.

Kebiasaan politik uang yang diterima oleh masyarakat dalam pemilu tersebut merambah juga ke dalam kehidupan lainnya di masyarakat. Akibatnya, hampir semua aktivitas yang melibatkan masyarakat harus dibarengi dengan “iming-iming” uang atau materi tertentu. Bahkan, kenyataan yang menyedihkan justru terjadi ketika misalnya mahasiswa melakukan kuliah kerja nyata (KKN) di masyarakat juga tidak terlepas dari tuntutan untuk memberikan semacam politik uang. Masyarakat akan sangat sulit untuk dilibatkan dalam kegiatan KKN mahasiswa jika tidak dibarengi dengan pemberian tertentu. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below