Menyoal Politik Uang Dalam Pemilu di Indonesia (Bagian Ketujuh)

Oleh: Hernadi Affandi

Fenomena politik uang dalam pemilu baik Pileg, Pilpres, maupun Pilkada dalam kurun waktu lima tahun tersebut seakan-akan menjadi kebiasaan baru dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan Indonesia. Kenyataan tersebut semakin menegaskan bahwa era reformasi yang diharapkan menjadi momentum perubahan kehidupan ketatanegaraan, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya justru menjadi ajang tumbuh-kembangnya politik uang secara subur.

Praktik politik uang seakan-akan dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar sebagai kesempatan untuk memberi dan menerima di antara para calon atau parpol dengan masyarakat pemilih. Bahkan, politik uang dirasakan sebagai suatu cara yang efektif untuk membantu rakyat terutama rakyat miskin. Keadaan tersebut menjadi alasan pembenar jika politik uang dianggap sebagai suatu keharusan bagi para calon atau parpolnya dalam pemilu karena dianggap saling menguntungkan.

Keadaan itu ditengarai disebabkan oleh pengaturan dalam undang-undang yang kurang tegas melarang politik uang selama masa dan tahapan Pemilu. Ketentuan UU Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak mengatur secara tegas istilah politik uang dan bentuk-bentuk politik uang. Pengaturan tersebut menggunakan terminologi “menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya”. Larangannya diberlakukan selama masa kampanye sampai pelaksanaan pemungutan suara. Artinya, “politik uang” yang dilakukan sebelum masa kampanye dianggap boleh dilakukan, sehingga tidak termasuk perbuatan yang dilarang.

Pasal 77 UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD berbunyi sebagai berikut: (1) Selama masa kampanye sampai dilaksanakan pemungutan suara, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. (2) Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan batal sebagai calon oleh KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/ Kota. (3) Tata cara pembatalan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KPU.

Selain ancaman pembatalan sebagai calon, pelaku politik uang juga diancam dengan pidana penjara dan/atau denda sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 139 ayat (2) UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Selengkapnya, ketentuan tersebut berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta Pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Ketentuan yang hampir sama juga diatur di dalam Pasal 42 UU Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pilpres. Selengkapnya, ketentuan tersebut berbunyi: (1) Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. (2) Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai Pasangan Calon oleh KPU. (3) Tata cara pembatalan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KPU.

Selain ancaman pembatalan sebagai pasangan calon, pelaku politik uang dalam Pilpres juga diancam dengan pidana penjara dan/atau denda. Pasal 90 ayat (2) UU Pilpres berbunyi sebagai berikut: Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan Calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (Bersambung)

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below