Menyoal Politik Uang Dalam Pemilu di Indonesia (Bagian Ketiga)

Oleh: Hernadi Affandi

Adanya fenomena politik uang pada waktu lalu ditengarai terjadi dalam Pemilu anggota legislatif saja dan itu pun sifatnya masih “malu-malu”. Politik uang pada waktu itu dianggap masih “embrio” karena dari segi jumlah hanya kecil-kecilan seperti pemberian kaos dan uang transport ala kadarnya. Keadaan itu dianggap wajar dan biasa karena tujuannya bukan untuk “membeli” suara calon pemilih, tetapi hanya untuk memobilisasi para simpatisan dan pendukung Parpolnya.

Keadaan itu juga dipengaruhi oleh sistem Pemilu yang digunakan pada era Orba adalah sistem tertutup dengan hanya memunculkan gambar Parpol di dalam kertas suara. Dengan demikian, nama calon tidak muncul di dalam kertas suara, sehingga para calon tidak perlu berlomba-lomba untuk dipilih namanya. Politik uang dalam jumlah besar-besaran hampir sulit ditemukan pada waktu itu karena para calon belum terlalu berkepentingan untuk memenangkan dirinya sendiri.

Fenomena politik uang yang masif dan terbuka justru ditengarai dimulai ketika Pemilu anggota legislatif yang dilaksanakan pada tahun 1999. Keadaan itu menjadi anomali karena justru terjadi sesaat setelah Indonesia memasuki era reformasi pada tahun 1998. Alih-alih era reformasi bermaksud mengubah kehidupan ketatanegaraan dan politik yang dianggap buruk pada era Orba justru menjadi sarana subur untuk menumbuhkembangkan embrio politik uang.

Kemuculan fenomena politik uang yang masif dan terbuka ditengarai terjadi pada Pemilu tahun 1999 disebabkan pada waktu itu diikuti oleh Parpol peserta Pemilu yang cukup banyak. Tercatat sebanyak 48 buah Parpol yang berhasil mengikuti dan menjadi peserta Pemilu pada tahun 1999 dari 141 Parpol yang terdaftar di Departemen Kehakiman pada waktu itu. Selain itu, pada tahun 1999 tercatat 35 buah Parpol yang memenuhi syarat tetapi tidak mengikuti Pemilu, 46 Parpol tidak lolos verfikasi, dan 12 Parpol tidak memenuhi syarat.

Penambahan jumlah Parpol peserta Pemilu yang semula hanya tiga menjadi 48 buah mengakibatkan Pemilu tahun 1999 menjadi penuh persaingan bahkan sangat ketat. Hal itu yang kemudian ditengarai menjadikan para peserta Pemilu, baik Parpol maupun para calonnya, melakukan berbagai upaya untuk memperoleh suara dari pemilihnya. Salah satu caranya adalah para calon tersebut dengan melakukan politik uang kepada para pemilih dengan harapan terpilih dalam Pemilu tersebut.

Kekhawatiran adanya politik uang yang mungkin terjadi dalam Pemilu tahun 1999 sebenarnya sudah diantisipasi dengan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum. Penyebutan istilah politik uang pun baru pertama kali ditemukan secara normatif di dalam UU tersebut, khususnya dalam Penjelasan Pasal 48 ayat (2) yang berbunyi” “Untuk mencegah adanya politik uang (money polities), maka perlu adanya pembatasan dana kampanye yang diatur oleh KPU.”

Ketentuan Pasal 48 UU tersebut sebenarnya mengatur tentang dana kampanye Pemilu untuk masing-masing Parpol peserta Pemilu. Alasannya, jika dana kampanye tidak terkontrol jumlah dan sumbernya tentu akan sangat rawan terjadinya penyalahgunaan dana tersebut. Dengan kata lain, hal itu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya sumbangan yang tidak jelas, sehingga disalahgunakan untuk digunakan sebagai politik uang.

Selengkapnya, Pasal 48 berbunyi sebagai berikut: (1) Dana kampanye Pemilihan Umum masing-masing Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dapat diperoleh dari: a. Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang bersangkutan; b. Pemerintah, yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; c. Pihak-pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi badan-badan swasta, perusahaan, yayasan, atau perorangan.

Selanjutnya, (2) Batas dana kampanye yang dapat diterima oleh Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan oleh KPU. (3) Dana dan bantuan lain untuk kampanye Pemilihan Umum masing-masing Partai Politik tidak boleh berasal dari pihak asing. (4) Pelanggaran terhadap ketentuan dana kampanye sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2), dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below