Menyoal Politik Uang Dalam Pemilu di Indonesia (Bagian Keduabelas)

Oleh: Hernadi Affandi

Praktik politik uang yang terus terjadi dalam Pemilu anggota legislatif tahun 2009 disinyalir terjadi karena adanya celah hukum dalam UU Pemilu. Celah hukum tersebut antara lain rumusannya yang kurang jelas dan kurang sinkron antara satu pasal dengan pasal lainnya. Akibatnya, larangan politik uang yang diatur di dalam UU Pemilu tersebut menjadi kurang efektif dalam pelaksanaannya karena disiasati dengan berbagai cara oleh para pelakunya.

Dalam Pasal 77 ayat (1) waktu yang dilarang adalah “selama masa kampanye sampai dilaksanakan pemungutan suara”. Selanjutnya, dalam Pasal 274 masyarakat atau penerima yang dilarang adalah “peserta kampanye”, sedangkan dalam Pasal 286 waktu yang dilarang adalah “pada saat pemungutan suara”. Artinya, politik uang yang dilarang adalah terbatas kepada selama masa kampanye sampai dilaksanakan pemungutan suara, peserta kampanye, dan pada saat pemungutan suara.

Akibatnya, larangan politik uang yang diatur di dalam UU Pemilu tersebut disiasati dengan beberapa cara yang dianggap tidak termasuk yang dilarang. Pertama, dilakukan selama masa tenang. Kedua, dilakukan kepada bukan peserta kampanye. Ketiga, dilakukan sebelum pemungutan suara. Dalam praktik, ketiga cara tersebut banyak dilakukan oleh para pelaku politik uang, sehingga luput dari jangkauan sanksi yang diatur di dalam UU Pemilu.

Semestinya larangan politik uang berlangsung mulai masa kampanye sampai dengan masa pemungutan suara. Larangan tersebut harus diartikan termasuk juga pada masa tenang sebelum hari pemungutan suara. Selain itu, penerima politik uang seharusnya juga bukan hanya peserta kampanye, tetapi setiap orang atau masyarakat yang tidak terlibat kampanye tetapi menerima uang atau materi lainnya.

Adanya kekurangjelasan rumusan dalam UU Pemilu tersebut menyebabkan pelaku politik uang menyiasati kelemahan aturan itu secara terang-terangan atau kucing-kucingan. Bagi pelaku yang percaya diri bahwa aturan itu memiliki kelemahan melakukannya secara terang-terangan. Sebaliknya, bagi pelaku yang masih memiliki keraguan melakukannya secara kucing-kucngan agar tidak ditemukan oleh pihak Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) atau Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Kabupaten, atau Kota.

Kedua cara itu mengakibatkan hasil yang sama, yaitu politik uang terjadi secara meluas dan tidak terbendung baik terbuka maupun tertutup. Akibatnya, politik uang benar-benar menjadi sesuatu yang sulit diawasi dan kontrol oleh pihak terkait, terutama Bawaslu dan Panwaslu. Kekurangan jumlah tenaga yang dimiliki oleh Bawaslu dan Panwaslu juga berpengaruh terhadap maraknya politik uang yang terjadi di lapangan. Bawaslu dan Panwaslu tidak mungkin mampu mengawasi dan mengontrol setiap gerak-gerik pelaku politik uang di seluruh wilayah Indonesia, provinsi, kabupaten atau kota yang menjadi wilayah pengawasannya.

Keadaan itu disinyalir diperparah juga oleh sikap masyarakat yang acuh tak acuh dengan adanya larangan politik uang bagi pemberi bukan bagi penerima. UU Pemilu tahun 2008 memang tidak menyebutkan atau melarang bagi penerima politik uang dan mengancam dengan sanksi tertentu. Artinya, masyarakat penerima politik uang baik peserta kampanye maupun bukan tidak akan mendapatkan sanksi apapun karena tidak diatur di dalam UU Pemilu.

Oleh karena itu, praktik menunjukkan Pemilu anggota legislatif tahun 2009 tidak mengherankan masih diwarnai dengan politik uang. Bahkan, politik uang yang terjadi pada saat itu jauh lebih terbuka dan meluas jika dibandingkan dengan Pemilu anggota legislatif tahun 2004. Hal itu terjadi karena cara dan strategi pelaku politik uang yang canggih dalam menyiasati UU Pemilu dan masyarakat juga turut menikmati politik uang tersebut.

Masyarakat yang sudah dibiasakan dengan politik uang dari pihak-pihak yang terlibat dalam Pemilu seakan-akan tidak risih dan riskan untuk menerimanya. Alasannya, kebiasaan itu sudah sering dilakukan baik dalam Pemilu anggota legislatif, Pemilu Presiden, maupun Pemilu Kepala Daerah, sehingga menjadi hal biasa bahkan menjadi tuntutan tersendiri. Apabila para calon ingin didukung atau dipilih oleh masyarakat harus mau dan mampu memberi uang atau barang atau materi lainnya kepada masyarakat. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below