Menyoal Politik Uang Dalam Pemilu di Indonesia (Bagian Kesebelas)

Oleh: Hernadi Affandi

Selengkapnya, Pasal 265 berbunyi sebagai berikut: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota DPD dalam Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya diancam dengan dua jenis pidana. Pertama, pidana penjara antara satu tahun sampai dengan tiga tahun. Kedua, pidana denda antara 12 juta rupiah sampai dengan 36 juta rupiah. Ancaman sanksi tersebut dikaitkan dengan maksud untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota DPD dalam Pemilu yang memerlukan persyaratan dukungan minimal sesuai dengan jumlah penduduk di masing-masing provinsi.

Selanjutnya, Pasal 274 berbunyi: Pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih Peserta Pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Berdasarkan ketentuan tersebut tampak bahwa pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya diancam dengan dua jenis pidana. Pertama, pidana penjara antara enam bulan sampai dengan dua tahun. Kedua, pidana denda antara 6 juta rupiah sampai dengan 24 juta rupiah. Ancaman sanksi tersebut ditujukan kepada pelaksana kampanye, yaitu pengurus partai politik, calon, juru kampanye, orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk. Sementara itu, apabila pelakunya adalah penyelenggara Pemilu ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 311.

Dalam pada itu, Pasal 286 berbunyi sebagai berikut: Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Ketentuan tersebut menegaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya diancam dengan dua jenis pidana. Pertama, pidana penjara antara satu tahun sampai dengan tiga tahun. Kedua, pidana denda antara 6 juta rupiah sampai dengan 36 juta rupiah. Ancaman sanksi tersebut ditujukan kepada setiap orang yang melakukan politik uang pada saat pemungutan suara atau dalam praktik yang biasa disebut sebagai “serangan fajar”. Artinya, ancaman sanksi tersebut diarahkan kepada pelaku politik uang bukan yang dilakukan pada saat masa kampanye, tetapi pada hari “H” pemungutan suara.

Berdasarkan ketiga pasal tersebut, sebenarnya ancaman sanksi sudah disiapkan terhadap pelaku politik uang selama masa kampanye dan pemungutan suara. Namun demikian, sejarah menunjukkan bahwa Pemilu legislatif tahun 2009 juga tidak sepi dari praktik politik uang, bahkan ditengarai jauh lebih terbuka dan meluas jika dibandingkan dengan Pemilu legislatif tahun 2004. Hal itu juga disebabkan adanya celah hukum dalam UU Pemilu yang tidak menegaskan larangan politik uang pada masa tenang. Dalam praktik, politik uang justru lebih terbuka dan meluas pada saat masa tenang karena sudah mendekati hari pemungutan suara dan tidak ada ancaman sanksi bagi pelakunya. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below