Menyoal Politik Uang Dalam Pemilu di Indonesia (Bagian Ketigabelas)

Oleh: Hernadi Affandi

Keadaan yang sama juga terjadi dalam Pilpres tahun 2009, bahkan menurut beberapa sumber pelaksanaan Pilpres tahun 2009 didominasi oleh politik uang di samping bentuk pelanggaran lainnya. Hal itu menjadi anomali di mana dalam mekanisme penentuan pimpinan nasional tertinggi dibayang-bayangi oleh kecurangan dalam bentuk politik uang. Hal itu terjadi akibat politik uang sudah dianggap sebagai kebiasaan dalam setiap Pemilu, baik Pileg, Pilkada, atau Pilpres sekalipun.

Secara normatif, praktik politik uang yang terjadi dalam Pilpres tahun 2009 ditengarai juga akibat adanya penggantian UU Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pilpres dengan UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pilpres. Salah satu perubahan fundamental adalah ketentuan Pasal 42 UU Nomor 23 Tahun 2003 yang semula mengatur sanksi pembatalan terhadap pasangan calon jika melakukan pelanggaran politik uang menjadi tidak diatur di dalam UU Nomor 42 Tahun 2008.

Artinya, sanksi pembatalan terhadap pasangan Capres-Cawapres terpilih jika melakukan pelanggaran politik uang menjadi tidak ada lagi. Hal itu kemungkinan membuat pasangan Capres-Cawapres dan terutama tim kampanye atau tim pendukungnya berani melakukan praktik politik uang. Meskipun dalam pasal-pasal lain disediakan ancaman tertentu bagi pelaku politik uang, hal itu seakan-akan menjadi tidak efektif karena pembuktiannya sulit dan sanksinya juga ringan.

Seperti sudah dikutip di bagian sebelumnya, rumusan Pasal 42 UU Pilpres lama berbunyi sebagai berikut: (1) Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. (2) Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai Pasangan Calon oleh KPU.

Akibat tidak diaturnya sanksi pembatalan terhadap pasangan calon jika melakukan pelanggaran politik uang tidak mengherankan jika praktik politik uang terus terjadi. Pada saat sanksi tersebut jelas-jelas diatur dan ditegaskan di dalam undang-undang saja praktik politik uang terjadi apalagi ketika sanksi tersebut tidak diatur. Oleh karena itu, sejarah membuktikan bahwa politik uang marak terjadi pada Pemilu tahun 2009 akibat tidak ada kekhawatiran apalagi ketakutan akan dilakukan pembatalan oleh KPU.

Selain itu, akibat perubahan undang-undang tersebut sanksi yang diancamkan kepada para pelaku politik uang dalam Pilpres dan Pileg menjadi berbeda. Pelaku politik uang dalam Pileg diancam dengan sanksi pembatalan terhadap calon anggota legislatif terpilih, sedangkan dalam Pilpres tidak ada ancaman pembatalan terhadap Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Hal ini dirasakan sangat tidak adil dan diskriminatif karena terjadi perlakuan yang berbeda, padahal tindakan pelanggarannya sama, yaitu sama-sama politik uang.

Adanya larangan politik uang dalam arti “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye” masih diatur di dalam Pasal 41 UU Pilpres 2008. Adapun pasal tersebut berbunyi: (1) Pelaksana, peserta, dan petugas Kampanye dilarang:  j. menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye.

Penjelasan Pasal 41 ayat (1) huruf j menjelaskan bahwa “Yang dimaksud “menjanjikan atau memberi” adalah inisiatifnya berasal dari pelaksana Kampanye yang menjanjikan dan memberikan untuk mempengaruhi Pemilih. Yang dimaksud “materi” dalam pasal ini tidak termasuk barang-barang yang merupakan atribut Kampanye, antara lain kaos, bendera, topi dan atribut lainya.

Selain ketentuan tersebut, UU Pilpres 2008 juga mengatur sanksi lain bagi pelaksana kampanye yang melakukan politik uang. Pengertian pelaksana kampanye diatur di dalam Pasal 35, larangan tindak pidana Pemilu diatur di dalam Pasal 45, sanksi pidana penjara dan denda kepada pelaksana kampanye pada masa kampanye diatur di dalam Pasal 215, dan sanksi pidana penjara dan denda bagi pelaku politik uang pada hari pemungutan suara diatur di dalam Pasal 232. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below