Menyoal Politik Uang Dalam Pemilu di Indonesia (Bagian Keenam)

Oleh: Hernadi Affandi

Indikasi adanya praktik politik uang juga tidak terlepas dalam pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) tahun 2004 yang dilaksanakan secara langsung. Pilpres tahun 2004 merupakan babak sejarah baru dalam sejarah kehidupan politik dan ketatanegaraan Indonesia di mana sebelumnya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam Pilpres tahun 2004, rakyat yang memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung tanpa mewakilkan lagi kepada MPR.

Pengalaman baru tersebut sayangnya tidak terlepas dari indikasi adanya praktik politik uang yang dilakukan oleh pasangan Capres dan Cawapres atau tim suksesnya. Hasil penelitian pihak-pihak terkait pada waktu itu menunjukkan bahwa Pilpres juga tidak steril dari adanya praktik politik uang. Hal itu disinyalir juga karena sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan sebelumnya dalam Pemilu legislatif tahun 1999 dan 2004. Selama hampir lima tahun jalannya reformasi justru menjadi masa yang cukup subur untuk menumbuhkembangkan politik uang.

Keadaan itu seakan-akan menjadi pelajaran berharga untuk dilanjutkan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung sejak tahun 2005. Pada waktu itu, Pilkada dilaksanakan sesuai dengan jadwal masing-masing daerahnya, sehingga terjadi Pilkada untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Fenomena politik uang yang terjadi dalam Pilkada pada waktu itu dianggap jauh lebih terbuka dan masif dibandingkan dengan Pemilu anggota legislatif dan Pilpres.

Pengalaman politik uang yang terjadi dalam Pemilu anggota legislatif dan Pilpres justru semakin berkembang dan melahirkan berbagai modus, strategi, atau bentuk politik uang yang lebih variatif dalam Pilkada. Hal itu dilakukan mulai dari bagi-bagi sembako, memperbaiki jalan, membangun jalan, memperbaiki rumah ibadah, membangun rumah ibadah, mengumrohkan, serangan fajar, dan sebagainya. Intinya, para calon kepala daerah tersebut mencoba untuk menarik simpati dan perhatian dari masyarakat dengan politik uang agar terpilih dalam kontestasi Pilkada.

Fenomena praktik politik uang yang terjadi dalam Pilkada sejak tahun 2005 disinyalir lebih banyak dilakukan daripada dalam Pemilu anggota legislatif dan Pilpres pada tahun 2004. Dalam Pemilu anggota legislatif pada waktu itu yang menggunakan sistem tertutup para calon tidak mungkin menonjolkan nama, dan nomor urutnya. Paling banter, para calon hanya dapat menonjolkan nama dan nomor urut partainya, sedangkan namanya sendiri tidak muncul secara dominan.

Sementara itu, dalam Pilkada yang sifatnya terbuka para calonnya dapat memasang secara jelas nama, nomor, partai, dan sebagainya. Artinya, secara teknis ketika bagi-bagi sembako dan sejenisnya dapat ditempel atau dipasang stiker yang menunjukkan identitas para calon tersebut, sehingga mudah dikenali oleh para penerimanya. Itu sebabnya praktik politik uang dalam Pilkada dianggap lebih meluas dan terbuka dibandingkan dengan pemilu anggota legislatif pada waktu itu.

Pelaksanaan Pilkada secara langsung tersebut dinilai sangat tercoreng akibat politik uang yang cukup terbuka dan masif. Alih-alih menghasilkan para kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berkualitas, kredibel, dan amanah justru menghasilkan cukup banyak kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berkualitas rendah, tidak bertanggung jawab, bahkan korup. Hal itu terbukti dengan cukup banyak kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terkena kasus KKN, sehingga diproses secara hukum.

Adanya kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terkena kasus hukum disinyalir disebabkan oleh biaya politik yang mahal. Kebutuhan modal mengikuti Pilkada yang sangat besar supaya diusung oleh Parpol dan politik uang disinyalir menjadi faktor pemicu terjadinya KKN. Dengan demikian, secara langsung atau tidak langsung politik uang menjadi faktor pemicu terjadinya KKN yang berujung kepada kasus hukum dari para kepala daerah dan wakil kepala daerah. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below