Menyoal Politik Uang Dalam Pemilu di Indonesia (Bagian Kelima)

Oleh: Hernadi Affandi

Pencabutan UU Nomor 3 Tahun 1999 itu dinyatakan dalam Pasal 149 UU Nomor 12 Tahun 2003 yang berbunyi: “Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3810) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3959) dinyatakan tidak berlaku.”

Akibat dicabutnya UU Nomor 3 Tahun 1999 yang berisi larangan politik uang dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 yang tidak mengatur larangan politik uang tidak ada lagi larangan dan ancaman sanksi terhadap pelaku politik uang. Artinya, siapa pun dapat melakukan politik uang tanpa ada larangan dan ketakutan terkena sanksi seperti sebelumnya. Hal ini yang disinyalir menjadi faktor penyebab politik uang menjadi semakin terbuka dan masif pada Pemilu anggota legislatif tahun 2004.

Persaingan yang sangat ketat di antara sesama para kandidat baik satu parpol maupun berbeda parpol menjadikan fenomena politik uang menjadi lebih terbuka dan masif. Meskipun jumlah parpol peserta Pemilu anggota legislatif tahun 2004 lebih sedikit, yaitu sebanyak 24 buah, persaingannya tetap saja sangat ketat. Hal itu disebabkan sifat Pemilu yang terbuka di mana nama calon dincatumkan secara jelas di dalam kartu suara.

Perubahan tersebut diatur di dalam Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 yang berbunyi: Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Pengaturan itu yang disinyalir mengakibatkan praktik politik uang menjadi lebih terbuka dan meluas karena masing-masing calon ingin dikenal dan dipilih oleh para pemilih.

Akibatnya, para calon anggota legislatif pada semua tingkatan berlomba-lomba melakukan politik uang sesuai dengan kemampuannya. Bahkan, banyak calon di antaranya yang meminjam dana ke sana-sini untuk memenuhi kebutuhan pencalonan dan politik uang dengan harapan terpilih dalam Pemilu. Berbagai bentuk politik uang diberikan oleh para calon kepada para pemilih agar memilih nama atau nomor urutnya di kartu suara pada saat dilangsungkannya Pemilu.

Bentuk politik uang yang diberikan sangat bervariasi dibandingkan dengan sebelumnya mulai dari bagi-bagi sembako, memperbaiki jalan, membangun jalan, memperbaiki rumah ibadah, mengumrohkan, dan sebagainya. Semua bentuk politik uang itu dilakukan secara sadar dan terbuka tanpa rasa malu, takut, atau risih karena dianggap sudah tahu sama tahu dan saling menguntungkan. Rakyat diuntungkan dengan diberi politik uang, sedangkan para calon diuntungkan karena dipilih dalam Pemilu.

Namun demikian, praktik politik uang pada waktu itu juga mengandung pelajaran yang berharga bahwa tidak semua masyarakat tergiur dengan politik uang. Buktinya, cukup banyak para calon yang sudah memberikan berbagai bentuk politik uang, tetapi tidak terpilih menjadi wakil rakyat. Akibatnya, tidak sedikit terjadi kelucuan misalnya pemberiannya diungkit kembali bahkan ada jalan yang sudah diperbaiki atau dibangun dirusak kembali oleh calon yang gagal terpilih tersebut. Bahkan, calon yang gagal terpilih di antaranya tidak sedikit yang terkena gangguan jiwa akibat kekalahannya dalam Pemilu.

Persoalan lain adalah cukup banyak anggota legislatif yang terpilih sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten, atau DPRD Kota yang kemudian terkena kasus hukum. Hal itu ditengarai akibat biaya politik tinggi yang diperlukan dalam Pemilu mulai dari biaya internal parpol, biaya kampanye, politik uang, dan sebagainya. Meskipun anggota DPD bukan berasal dari parpol, kebutuhan akan dana juga tidak sedikit karena harus meminta fotokopi KTP dari masyarakat sebagai salah satu syarat pendaftaran yang harus dikompensasi dengan jumlah rupiah.

Akibatnya, alih-alih Pemilu menghasilkan para wakil rakyat yang berkualitas, kredibel, amanah, dan bertanggung jawab justru menghasilkan wakil rakyat yang justru masif melakukan tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) atau bentuk pelanggaran dan kejahatan lainnya. Korupsi yang dilakukan itu ditengarai untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan selama pelaksanaan Pemilu yang jumlahnya tidak sedikit. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below