Menyoal Politik Uang Dalam Pemilu di Indonesia (Bagian Kesepuluh)

Oleh: Hernadi Affandi

Adapun Pasal 88 UU Pemilu tersebut berbunyi sebagai berikut: Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 yang dikenai kepada pelaksana kampanye yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD digunakan sebagai dasar KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota untuk mengambil tindakan berupa: a. pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari daftar calon tetap; atau b. pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih.

Berdasarkan ketentuan Pasal 87 dikaitkan dengan Pasal 88 UU Pemilu tampak bahwa tindakan terhadap pelaksana kampanye yang melakukan politik uang ada dua. Pertama, pembatalan nama calon dari daftar calon tetap. Kedua, pembatalan penetapan calon anggota sebagai calon terpilih. Tindakan tersebut dapat diambil oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota setelah ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota tidak serta-merta dapat mengambil dua tindakan tersebut jika belum ada putusan pengadilan.

Ancaman sanksi yang diatur di dalam Pasal 88 tersebut dapat dijatuhkan kepada pelaksana kampanye yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD. Artinya, pelaksana kampanye tersebut yang terbukti menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung. Dalam hal ini, pelaksana kampanye harus yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau calon anggota DPD, bukan hanya pengurus partai politik, juru kampanye, orang-seorang, atau organisasi yang ditunjuk.

Larangan dalam Pasal 87 dan Pasal 88 tersebut dikuatkan dengan Pasal 218 ayat (1) huruf d yang mengategorikan “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya” sebagai politik uang. Adapun politik uang dianggap sebagai tindak pidana Pemilu yang dapat dijadikan alasan untuk penggantian setelah calon terpilih sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD. Dalam hal ini, sanksi yang dijatuhkan adalah setelah calon terpilih bukan lagi hanya masih berstatus calon dalam daftar calon tetap atau penetapan sebagai calon terpilih.

Selengkapnya, Pasal 218 ayat (1) huruf d UU Pemilu tersebut berbunyi: (1) Penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan: d. terbukti melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal ini, politik uang dalam arti “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya” termasuk kategori tindak pidana Pemilu.

Sebagai catatan bahwa materi yang dimaksud dalam pasal tersebut tidak termasuk barang-barang yang merupakan atribut kampanye pemilu, antara lain kaos, bendera, topi dan atribut lainnya. Dengan demikian, atribut kampanye yang diberikan kepada peserta kampanye tidak termasuk ke dalam kategori politik uang. Artinya, hal itu tidak termasuk sebagai tindak pidana Pemilu yang dapat menjadi alasan diberikan sanksi penggantian calon terpilih.

Namun demikian, pengertian “tindak pidana Pemilu berupa politik uang” dalam pasal tersebut tidak dijelaskan lebih rinci, sehingga masih menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan sederhananya adalah apakah yang dimaksud dengan “tindak pidana Pemilu berupa politik uang” itu hanya “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya”? Apakah ada sanksi lainnya jika seorang calon melakukan “tindak pidana Pemilu berupa politik uang” selain harus dibatalkan atau diganti?

Selain dua jenis sanksi sebagaimana diatur di dalam Pasal 87 dan Pasal 88, UU Pemilu tersebut juga menyebutkan sanksi lainnya berupa pidana penjara dan denda bagi pelaku politik uang. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 265 (untuk setiap orang), Pasal 274 (untuk pelaksana kampanye), dan Pasal 286 (untuk setiap orang). Ketentuan tersebut semestinya menjadi ancaman yang efektif agar semua pihak menghindarkan politik uang dalam Pemilu legislatif. (Bersambung).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below